Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tax ratio atau rasio pajak Indonesia diprediksi makin buruk sampai tahun depan. Kondisi ekonomi yang lesu membuat penerimaan perpajakan sulit untuk ditingkatkan. Apalagi, pajak sebagai instrumen fiskal juga dipergunakan untuk mendorong investasi.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memprediksi kinerja penerimaan perpajakan diperkirakan melemah pada tahun 2020 dengan rasio pajak berpotensi berada di bawah 9% terhadap produk domestik bruto (PDB), terendah dalam dua dekade terakhir. Kondisi ini diprediksi bakal berlanjut hingga 2021 dengan konsensus rasio pajak di kirasan 8,25%-8,63% terhadap PDB.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, sebagai kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi kedua, investasi memang harus ditingkatkan. Nah, salah satu yang bisa memicu investasi masuk yakni melalui insentif fiskal. Dus, pajak tidak hanya digunakan untuk budgetair tapi juga regulerend.
Baca Juga: Ini 16 perusahaan digital asing yang siap pajaki konsumen Indonesia
Salah satu, insentif pajak yang digelontorkan pemerintah di tahun ini adalah penurunan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan dari 25% menjadi 22%. Kebijakan ini diambil untuk mendorong investasi sebagai bahan bakar ekonomi tahun ini di tengah situasi pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19).
Maklum, pemerintah ingin ekonomi tahun ini berada di zona positif dengan rentang pertumbuhan 0% hingga 1%. Bahkan, tahun depan ekonomi diharapkan meroket hingga 4,5%-5,5%.
Oleh karenanya, implementasi penurunan tarif PPh Badan dipercepat melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 yang melaksanakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 terkait respons kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan akibat pandemi Covid-19.
“Kenapa rasio perpajakan rendah, tapi PPh Badan diturunkan dari 25% ke 22%, ini karena kita melihat salam jangka panjang perpajakan bukan hanya masalah meng-collect tapi memperbesar size of the pay. Sehingga kalau perekonomian besar, pajaknya juga besar,” kata Febrio, Kamis (6/8).
Khusus tahun ini, penurunan tarif PPh Badan akan menyerap tax expenditure atau belanja pajak hingga sebesar Rp 20 triliun. Harapannya, stimulus ini bisa jadi pemanis bagi investor. Sebab, saat investasi bertumbuh, aktivitas ekonomi akan mengikuti dengan bertambahnya tenaga kerja baru.
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Pendapatan Negara BKF Kemenkeu Pande Putu Oka Kusumawardhani menambahkan, kebijakan tarif PPh Badan dirancang agar bisa bersaing dengan negara lain. Misalnya, tarif pajak korporasi di Vietnam dan Thailand saat ini sekitar 20%, bahkan Singapura 17%.
“Diharapkan dapat membuat Indonesia lebih kompetitif sebagai negara tujuan investasi pada level regional,” kata Oka kepada Kontan.co.id, Jumat (8/8).
Selain penurunan tarif PPh Badan, pemerintah juga mendorong investasi yang berbasiskan padat karya guna menyerap tenaga kerja melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 16/PMK.010/2020 dengan memberikan tambahan pengurangan penghasilan neto sebesar 60% dari nilai investasi.
Baca Juga: Ditjen Pajak: 16 perusahaan digital asing siap pajaki konsumen
Kemudian, investor juga bisa mendapatkan tax allowance atau fasilitas pajak penghasilan berupa pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal. Lalu, tax holiday atau pembebasan PPh Badan paling lama sepuluh tahun sejak dimulainya produksi komersial.
Selanjutnya, super deduction tax yakni pemberian pengurangan pajak penghasilan bruto maksimal 200% dari jumlah biaya yang dikeluarkan untuk kegiatan praktik kerja, pemagangan, dan/atau pembelajaran.
Oka bilang menyampaikan belanja perpajakan tahun 2020 diperkirakan meningkat. Adapun, pada 2019, hitungan sementara BKF realisasi belanja pajak lebih dari Rp 250 triliun.
Fokus padat karya
Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yuliot mengatakan insentif fiskal menjadi salah satu pertimbangan utama investor. Dia menyampaikan biasanya investor akan membandingan insentif satu negara dengan lainnya.
“Investor itu melakukan penjajakan terlebih dahulu. Sebelum berinvestasi, ada financial modeling, memperhitungkan fasilitas fiskal yang diberikan pemerintah. Dan dari insentif yang ada saat ini memang difokuskan ke padat karya, karena prasyaratnya juga begitu” kata Yuliot, Sabtu (9/8).
Data BKPM menunjukkan realisasi investasi pada semester I-2020 sebesar Rp 402,6 triliun, atau setara 49,3% terhadap target akhir tahun ini senilai Rp 817,2 triliiun.
Penanaman modal investor domestik dan asing tersebut telah menyerap 566.194 tenaga kerja sepanjang Januari-Juni 2020. Angka tersebut lebih tinggi 15,3% dibanding periode sama tahun lalu sebanyak 490.715 tenaga kerja.
Baca Juga: Per 6 Agustus, pagu program Pemulihan Ekonomi Nasional sudah terserap 21,8%
Kata Yuliot untuk menarik investasi lebih banyak, masalah perizinan harus dipermudah dengan segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja. Meski beleid sapu jagad investasi itu masih dalam pembahasan, setidaknya BKPMK sudah mendapatkan mandat lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha.
“Sekarang tax allowance sudah satu pintu di BKPM. Total sudah ada 23 Kementerian/Lembaga (K/L) yang perizinan terkait investasinya di BKPM. Jadi investor itu, perlunya kecepatan membuat keputusan, birokrasi tidak bisa lagi berbelit,” ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News