kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.714.000   12.000   0,71%
  • USD/IDR 16.430   54,00   0,33%
  • IDX 6.647   -17,63   -0,26%
  • KOMPAS100 942   -8,98   -0,94%
  • LQ45 738   -9,69   -1,30%
  • ISSI 209   1,77   0,85%
  • IDX30 384   -5,57   -1,43%
  • IDXHIDIV20 461   -6,31   -1,35%
  • IDX80 107   -1,15   -1,06%
  • IDXV30 110   -0,84   -0,76%
  • IDXQ30 126   -1,79   -1,40%

Defisit APBN yang Melebar Berpotensi Meningkatkan Porsi Pembiayaan Utang Negara


Kamis, 13 Maret 2025 / 20:24 WIB
Defisit APBN yang Melebar Berpotensi Meningkatkan Porsi Pembiayaan Utang Negara
ILUSTRASI. (KONTAN/Fransiskus Simbolon) Belanja negara yang lebih besar dibandingkan pendapatan, jika dibiarkan berlanjut para ekonom menilai bisa meningkatkan pembiayaan utang negara.


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Belanja negara yang lebih besar dibandingkan pendapatan negara yang jika dibiarkan berlanjut, membuat para ekonom memperkirakan dapat meningkatkan pembiayaan utang negara.

Hal ini berkaca Jika melihat kondisi postur APBN 2025 yang mengalami defisit sebesar Rp 31,2 triliun per 28 Februari 2025,  atau setara dengan 0,13% dari produk domestik bruto (PDB), meskipun menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, kondisi defisit selama periode Januari-Februari 2025 ini masih terkendali dan sesuai dengan struktur yang didesain sebelumnya.

"Saya ingatkan kembali, APBN didesain dengan defisit Rp 616,2 triliun. Jadi, defisit 0,13 persen ini masih di dalam target desain APBN sebesar 2,53 persen dari PDB, yaitu Rp 616,2 triliun," ujarnya dalam konferensi pers APBN KiTa Maret 2025, Kamis (13/3).

Defisit ini disebabkan oleh lebih belanja negara yang lebih besar dibandingkan pendapatan negara. Seiring dengan kondisi defisit tersebut, Kemenkeu menarik utang baru sebesar Rp  224,3 triliun selama periode Januari-Februari 2025, atau setara 28,9% dari target penarikan utang tahun ini yang sebesar Rp 775,9 triliun.

Di sisi lain, jika berkaca pada posisi Februari 2024, APBN mencatatkan surplus sebesar Rp 31,3 triliun atau sekitar 0,14% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara realisasi penarikan utang baru pada periode yang sama sebesar Rp 184,47 triliun atau 35,25% terhadap pagu. Artinya

Baca Juga: APBN 2 Bulan Pertama 2025 Tekor, Sri Mulyani Optimistis Jaga Defisit Sesuai Target

Melihat kondisi ini, para ekonom menilai terlalu dini untuk memperkirakan kondisi hingga akhir tahun, mengingat salah satu sebabnya yakni permasalahan sistem coretax yang tidak berjalan mulus. Namun meski pendapatan tak mencapai target, tetap saja hal ini bergantung dengan seberapa besar belanja (neto) yang dipangkas pemerintah.

"Artinya, pendapat defisit anggaran yang diperkirakan melebar berdasar target pendapatan bakal tak tercapai, sedang belanja akan bertambah karena ada program prioritas yang butuh tambahan. Namun, belum memperhitungkan pemangkasan," ungkapEkonom Bright Institute, Awalil Rizky kepada Kontan, Kamis (3/13).

Awalil menyebut dengan keputusan dipakainya dua sistem, coretax dan sistem lama, maka kemungkinan penerimaan pajak akan kembali meningkat. Diluar soal sistem penghitungan dan pembayaran, ia menyebut penerimaan perpajakan memang berisiko mengalami penurunan karena kondisi perekonomian.

Di sisi lain perlu melihat bagaimana kejelasan terkait relokasi kebijakan pemotongan belanja atau efisiensi anggaran yang belum dipublikasikan secara resmi, apakah memang direalokasi ke belanja lain seluruhnya atau sebagiannya.

"Setidaknya, risiko mengalami shortfall atau tidak mencapai target APBN tampak amat besar. Kita mesti menunggu kejelasan kebijakan fiskal Prabowo. Hingga saat ini yang beredar adalah narasi dan keputusan berbagai rapat. Belum dipastikan berapa pemotongannya dan apakah dialokasikan seluruhnya ke K/L lain, atau bagaimana," ungkap Awalil.

Sementara itu Ekonom Senior Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menyampaikan, jika perlambatan penerimaan negara terus berlanjut, Pemerintah perlu melakukan langkah penghematan dengan menunda setoran untuk Danantara, resizing MBG, menunda IKN, dan program lainnya.

"Jika hal tersebut tetap tidak memadai, menerbitkan tambahan SBN adalah solusi terakhir. Namun dengan prediksi Goldman Sach bahwa defisit mencapai 2,9%, di atas asumsi APBN 2,53%, maka pembiayaan utang harus diminimalisir mengingat kondisi pasar yang sulit dan potensi reversal (investor melepas SBN di pasar) yang akan menghantam Rupiah dan ekonomi kita," ungkapnya kepada Kontan.

Selain itu, para ekonom juga menyebut, jika pemerintah memaksakan untuk tetap memperbesar porsi surat utang, maka akan ada perebutan sumber dana (utang) antara pemerintah dengan swasta, atau dikenal sebagai crowding out.

"Kurangi kebutuhan berutangya (pembiayaan utang). Pemangkasan belanja lebih dimaksudkan mengurangi defisit, bukan direalokasi ke belanja lain, yang justru belum jelas manfaatnya bagi perekonomian," tambah Awalil.

Menurut Awalil, pemerintah perlu mempopulerkan lagi pembiayaan bersumber dari pinjaman atau loan, baik bilateral, multilateral maupun institusional seperti dari World Bank, ADB. Menurutnya ini lebih aman, apalagi dengan kondisi saat ini dimana SBN sudah mewakili 90% dari total utang negara.

Sementara itu, Ekonom sekaligus Direktur Segara Research Institute Piter Abdullah menyampaikan, selama rasio utang di kisaran 40% dari PDB, Ia menyebut besarnya utang pemerintah masih relatif Aman. 

Baca Juga: 3 Jam Paparan APBN, Sri Mulyani CS Tak Singgung Dampak Coretax terhadap Penerimaan

Selanjutnya: Tarif Taksi Listrik vs Bensin Blue Bird, Mana yang Lebih Murah?

Menarik Dibaca: 4 Buah Terbaik untuk Menurunkan Tekanan Darah Tinggi, Baik buat Jantung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×