Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli
Misalnya saja, apabila pemerintah melihat konsumsi tumbuh cukup baik, kemungkinan ada asumsi bahwa kebutuhan insentif bisa dikurangi.
Padahal, sebagian besar masyarakat, terutama calon kelas menengah atau kelompok rentan, mungkin masih menghadapi tekanan daya beli.
Menurutnya, melihat kondisi tersebeut diperlukan data yang tidak hanya melihat pertumbuhan secara agregat, tapi juga distribusinya.
Baca Juga: Daya Beli Lesu, Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 Diperkirakan di Bawah 5%
Hal serupa juga terlihat di sisi investasi. Data BPS menunjukkan lonjakan Pembentukan Modal tetap Bruto (PMTB) dari 2,12% yoy ke 6,99% yoy pada kuartal II. Tapi data Penanaman Modal Asing (PMA) justru menurun.
Realisasi PMA pada kuartal II-2025 hanya sebesar Rp 202,2 triliun atau turun 6,9% jika dibandingkan dengan kuartal II-2024 yang sebesar Rp 217,3 triliun.
“Ini bisa menunjukkan bahwa peningkatan investasi bersumber dari belanja pemerintah atau proyek-proyek domestik tertentu, bukan karena ada peningkatan kepercayaan investor asing. Hal ini tentu tidak sepenuhnya negatif, tapi tetap perlu dilihat keberlanjutannya,” tandasnya.
Baca Juga: BPS: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 Capai 5,12% Didorong Konsumsi dan Investasi
Melihat realitas data yang disajikan BPS dengan data riil di lapangan, Yusuf menilai akan ada kebingungan dari sisi bisnis dan investor, karena beberapa indikator di lapangan justru bertolak belakangan dengan indikator agregat yang ditampilkan.
Selanjutnya: Celios Ungkap Dampak Biaya Pemrosesan E-Commerce bagi Seller dan Konsumen
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok di Jakarta & Sekitarnya, Hujan Sangat Lebat di Sini
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News