Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Wakil Kepala Lembaga Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ihsan mengatakan pemerintah perlu mengendalikan impor tembakau. Cara itu bisa jadi solusi protes petani atas rencana kenaikan rata-rata tarif cukai hasil tembakau (CHT) di tahun depan.
Abdillah bilang, lewat instrumen fiskalnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bisa menaikkan tarif bea masuk impor tembakau hingga 15%.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, impor tembakau pada tahun 2019 mencapai 110,92 ton per tahun. Abdillah bilang, dengan diberlakukannya bea masuk impor tembakau yang lebih tinggi maka diharapkan pemerintah dapat memaksimalkan hasil tembakau lokal.
“Jadi solusinya bukan berarti hanya terbatas meminta petani tembakau untuk mengganti tembakau dengan yang lain. Sehingga kesejahteraan petani masih bisa dijaga,” kata Abdillah kepada Kontan.co.id, Rabu (21/10).
Baca Juga: Cukai rokok naik, Asosiasi Petani Tembakau: Industri akan banyak berguguran
Sebagai info, kabar yang dihimpun dari sumber Kontan.co.id, Presiden Joko Widodo sudah memberikan arahan kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mematok tarif cukai rokok 2021 berada di kisaran 13%-20%. Lantas, Menkeu mengajukan jalan tengah, dengan besaran tarif 17%.
Masih menurut sumber Kontan.co.id, tarif kenaikan CHT 2021 sebesar 17% kemungkinan besar jadi angka final. Sementara Harga Jual Eceran (HJE) tahun depan masih tetap 85%.
Soal kabar tersebut, Abdillah menyampaikan dirinya mendukung keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif rata-rata CHT. Ada dua alasan yang mendasari dukungannya.
Pertama, perokok rentan terpapar corona virus disease 2019 (Covid-19). Lantas, dengan cukai yang dinaikkan, harga rokok makin mahal, sehingga konsumsi rokok bisa lebih dikendalikan.
Mengingat, tahun depan penemuan vaksin Covid-19 sampai kepada vaksinasi masih penuh ketidakpastian. “Ini sejalan dengan argumen WHO yang bilang perokok jauh lebih rentan. Sehingga upaya mengurangi konsumsi rokok sejalan dengan upaya mencegah penyebaran pandemi,” kata Abdillah.
Kedua, tahun ini resesi ekonomi sudah pasti akan terjadi dan dampak lebih lanjutnya akan dirasakan oleh masyarakat di tahun depan. Kata Abdillah, di masa krisis, konsumsi rokok harus ditekan.
Sebab, berkaca pada krisis moneter tahun 1998, jumlah perokok meningkat. Artinya, semakin banyak orang yang merasa stress akibat tekanan ekonomi.
“Waktu itu rokok meningkat itu artinya orang stres, orang tidak punya pendapatan, mereka merokok. Kita tidak boleh menganggap rokok itu refreshing-nya orang miskin, karena sifatnya kecanduan dan bahaya untuk kesehatan,” ujar dia.
Setali tiga uang, Abdillah menilai, dampak bila cukai rokok tidak naik maka konsumsi orang miskin akan semakin tidak berkualitas. Terlebih yang ditakutkan adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) tunai yang diberikan oleh pemerintah kepada keluarga miskin akan digunakan untuk membeli rokok daripada bahan pokok yang lain.
“Jadi cukainya memang harus naik, karena orang miskin pendapatnnya terbatas, mereka akan lebih sensitif terhadap harga rokok, maka konsumsi di kalangan miskin akan berkurang,” ujar Abdullah.
Abdillah menambahkan, konsumsi rokok oleh rumah tangga masyarakat miskin di Indonesia cenderung tinggi yakni mencapai 60% dari total pengeluran per bulan. Jumlah ini di atas rata-rata negara di kawasan ASEAN yang hanya 10%-15% pengeluarannya dibelikan rokok.
Selanjutnya: Ekonom UI dorong pemerintah kerek tarif cukai rokok 2021, ini alasannya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News