kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.951.000   -8.000   -0,41%
  • USD/IDR 16.304   -11,00   -0,07%
  • IDX 7.533   43,20   0,58%
  • KOMPAS100 1.070   7,34   0,69%
  • LQ45 793   -2,68   -0,34%
  • ISSI 254   0,66   0,26%
  • IDX30 409   -1,29   -0,31%
  • IDXHIDIV20 467   -2,82   -0,60%
  • IDX80 120   -0,30   -0,25%
  • IDXV30 124   0,09   0,07%
  • IDXQ30 131   -0,56   -0,43%

Ramai-Ramai Publik Meragukan Data BPS, Minta Transparansi Penghitungan


Minggu, 10 Agustus 2025 / 20:05 WIB
Ramai-Ramai Publik Meragukan Data BPS, Minta Transparansi Penghitungan
ILUSTRASI. Laju pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia melambat di kuartal pertama 2025. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal pertama 2025 sebesar 4,87% secara tahunan (YoY). Pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal keempat 2024 masih berada di 5,02%. Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal pertama 2024 lalu mencapai 5,11%.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Gelombang kritik terhadap Badan Pusat Statistik (BPS) semakin deras, terutama menyangkut akurasi data kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang dirilis belakangan ini.

Sejumlah ekonom, akademisi, hingga masyarakat umum menilai hasil survei BPS kerap tidak selaras dengan kondisi yang mereka rasakan di lapangan.

Memang selama ini BPS mengklaim telah menggunakan standar internasional dalam metode surveinya. Namun, tanpa keterbukaan penuh soal asumsi, batasan, dan defisi, angka-angka tersebut akan terus dibayang-bayangi ketidakpercayaan.

Belum lama ini, lemba Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengirimkan surat permintaan investasi pada Badan Statistik PBB yakni United Nations Statisctics Division (UNSD) dan United Nations Statistical Commussion.

Direktur Eksekutif CELIOS, Bhima Yudhistira menjelaskan, surat yang dikirimkan ke PBB tersebut memuat permintaan untuk meninjau ulang data pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 yang sebesar 5,12%.

Hal ini dikenakan data yang disajikan BPS tidak relevan dengan indikator makroekonomi lainnya, seperti PMI Manufaktur dan PHK massal yang meningkat.

"Data yang tidak sinkron tentu harus dijawab dengan transparansi," ujar Bhima.

Baca Juga: Data Pertumbuhan Ekonomi Diragukan, Universitas Paramadina Minta BPS Jelaskan

Sementara itu, Direktur Kebijakan Fiskal CELIOS, Media Wahyudi Askar menilai, data ekonomi yang tidak akurat, khususnya jika pertumbuhan dilebih-lebihkan, dapat menyesatkan pengambilan kebijakan.

Bayangkan, dengan data yang tidak akurat, pemerintah bisa keliru menunda stimulus, subsidi, atau perlindungan sosial karena mengganggap ekonomi baik-baik saja.

"Keinginan masyarakat itu sederhana, agar pemerintah Indonesia menghitung pertumbuhan ekonomi dengan standar SDDS Plus sehingga datanya dapat dipertanggungjawabkan," kata Media.

Menyusul CELIOS, Universitas Paramadina juga menyampaikan pemandangannya terkait data BPS yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.

"Banyak kalangan tidak percaya, dan ini berpotensi bergulir menjadi bola liar yang merusak kredibilitas BPS," tulis Universitas Paramadina dalam keterangannya.

Mereka pun meminta BPS untuk buka-bukaan terkait metodologi dan asumsi perhitungan PDB, termasuk sumber data, pembobotan sektor, dan metode estimasi yang dapat diverifikasi oleh berbagai pihak.

Baca Juga: CELIOS Minta PBB Investigasi Kejanggalan Data Pertumbuhan Ekonomi BPS

Universitas Paramadina juga meminta BPS memberikan penjelasan mengenai kesenjangan antara data pertumbuhan ekonomi versi BPS dan indikator-indikator ekonomi sektoral yang justru menunjukkan perlambatan.

"Jika data yang dirilis tidak selaras dengan kenyataan di lapangan, maka bukan hanya publik yang kehilangan pegangan, tetapi juga kebijakan ekonomi nasional akan salah arah," katanya.

Rupanya, data-data BPS yang diragukan kalangan ekonom tidak hanya berkaitan dengan data pertumbuhan ekonomi.

Lembaga The PRAKARSA baru-baru ini juga mengkritik data penurunan angka kemiskinan Maret 2025 yang tidak mencerminkan realitas kemiskinan di Indonesia.

Pasalnya, metode yang digunakan BPS dinilai sudah usang dan belum menangkap dimensi-dimensi penting dari kemiskinan yang sebenarnya.

Peneliti Kebijakan Sosial PRAKARSA Pierre Bernando Ballo menjelaskan, ketika seseorang dikategorikan sebagai tidak miskin berdasarkan Susenas, bukan berarti realitasnya mereka tidak hidup dalam kemiskinan.

Hal ini dikarenakan BPS masih menggunakan metode lama berbasis moneter yang mengukur garis kemiskinan makanan (GKM) dan non-makanan (GNKM), atau umumnya dikenal dengan metode cost of basis needs (CBN).

"Metode ini cukup outdated dan belum diubah sejak hampir tiga dekade lalu. Padahal, pola konsumsi masyarakat, deprivasi, dan faktor-faktor penyebab kemiskinan lainnya sudah berubah," kata Pierre.

Sebagai alternatif, Pierre menyarankan penggunaan Indikator Kemiskinan Multidimensi (IKM) yang mempertimbangkan faktor-faktor non-moneter seperti ketiadaan akses air minum bersih, kondisi tempat tinggal, hingga tingkat morbiditas.

The PRAKARSA mencatat bahwa pada tahun 2022, terdapat sekitar 14 juta warga Indonesia yang hidup dalam kemiskinan multidimensi, meskipun banyak dari mereka tidak tercakup dalam data kemiskinan resmi BPS. 

Baca Juga: Data Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II Dinilai Janggal, Begini Respons Kepala BPS

Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara data statistik dan kenyataan sosial.

"Sebagai contoh, ketika seseorang tinggal di rumah tidak layak huni, dia bisa dikatakan miskin. Tetapi karena indikator itu tidak bisa diubah menjadi pengeluaran, maka dia dikategorikan tidak miskin berdasarkan perhitungan BPS," kata Pierre.

Di sisi lain, lembaga riset kebijakan Sigmaphi Indonesia juga mengungkapkan bahwa masih ada 42,9% penduduk Indonesia atau setara 118,73 juta jiwa hidup dalam kondisi tidak layak pada 2023.

Temuan ini muncul setelah penghitungan kemiskinan menggunakan pendekatan baru berbasis basic rights (hak dasar), bukan sekadar basic needs (kebutuhan dasar) seperti yang digunakan BPS saat ini.

Metode ini menilai kesejahteraan melalui enam indikator hak dasar, yaitu kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pangan, air minum, dan tempat tinggal.

Hasilnya, rata-rata setiap orang menghadapi 1,3 masalah dari enam aspek tersebut. 

Baca Juga: Data Konsumsi BPS Dinilai Tak Sesuai dengan Kondisi Lapangan

Ironisnya, menurut Sigmaphi, sebagian besar warga yang hidup tidak layak justru berada di luar kategori miskin versi BPS. Misalnya, dari total 79,6 juta penduduk yang tinggal di hunian tidak layak, sebanyak 66,5 juta orang tercatat tidak miskin menurut data resmi. 

Begitu juga dari 51,6 juta penduduk yang tak punya akses pangan layak, 42,6 juta orang berada di luar garis kemiskinan BPS.

Oleh karena itu, Sigmaphi merekomendasikan pemerintah mengubah indikator resmi kesejahteraan dengan memasukkan enam hak dasar tersebut, sekaligus menempatkan pemenuhan pangan dan perumahan sebagai prioritas.

"Kaji ulang indikator kesejahteraan, dengan memasukkan aspek kehidupan layak yang berbasis hak dasar (basic right)," tulis Sigmaphi dalam laporannya.

Baca Juga: Lembaga Ini Sebut 14 Juta Warga Miskin Multidimensi Tak Masuk Data BPS

Selanjutnya: 9 Makanan yang Rentan Menyebabkan Keracunan Makanan, Waspadai Risiko Ini

Menarik Dibaca: HUT RI Promo Diskon Tambah Daya PLN 50%, Simak Ketentuan Berikut

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×