Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana Kementerian Keuangan untuk mengerek tarif cukai rokok di tahun mendapat mendapat dukungan. Salah satunya dari Wakil Kepala Lembaga Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ihsan.
Abdillah menjelaskan, ada dua alasan yang mendasari dukungannya. Pertama, perokok rentan terpapar virus corona (Covid-19). Lantas, dengan cukai yang dinaikkan, harga rokok makin mahal, sehingga konsumsi rokok bisa lebih dikendalikan.
Mengingat, tahun depan penemuan vaksin Covid-19 sampai kepada vaksinasi masih penuh ketidakpastian. “Ini sejalan dengan argumen WHO yang bilang perokok jauh lebih rentan. Sehingga upaya mengurangi konsumsi rokok sejalan dengan upaya mencegah penyebaran pandemik,” kata Abdillah kepada Kontan.co.id, Rabu (21/10).
Baca Juga: Alasan Kemenkeu belum juga umumkan kenaikan tarif cukai rokok
Kedua, tahun ini resesi ekonomi sudah pasti akan terjadi dan dampak lebih lanjutnya akan dirasakan oleh masyarakat di tahun depan. Kata Abdillah, di masa krisis, konsumsi rokok harus ditekan.
Sebab, berkaca pada krisis moneter tahun 1998, jumlah perokok meningkat. Artinya, semakin banyak orang yang merasa stres akibat tekanan ekonomi.
“Waktu itu rokok meningkat itu artinya orang stres, orang tidak punya pendapatan, mereka merokok. Kita tidak boleh menganggap rokok itu refreshing-nya orang miskin, karena sifatnya kecanduan dan bahaya untuk kesehatan,” ujar dia.
Setali tiga uang, Abdillah menilai dampak bila cukai rokok tidak naik maka konsumsi orang miskin akan semakin tidak berkualitas. Terlebih yang ditakutkan adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) tunai yang diberikan oleh pemerintah kepada keluarga miskin akan digunakan untuk membeli rokok daripada bahan pokok yang lain.
“Jadi cukainya memang harus naik, karena orang miskin pendapatannya terbatas, mereka akan lebih sensitif terhadap harga rokok, maka konsumsi di kalangan miskin akan berkurang,” ujar Abdullah.
Dia menambahkan, konsumsi rokok oleh rumah tangga masyarakat miskin di Indonesia cenderung tinggi yakni mencapai 60% dari total pengeluaran per bulan. Jumlah ini di atas rata-rata negara di kawasan ASEAN yang hanya 10%-15% pengeluarannya dibelikan rokok.
Kata Abdillah, bila pemerintah menetapkan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) 2021 sebesar 17% dan harga jual eceran (HJE) 85% cukup idel. Sebab, angka itu sudah membuat harga rokok lebih mahal, namun unsur toleransi dari pemerintah akibat pandemi. Karena naiknya tidak setinggi tahun ini yang mencapai 23%.
Baca Juga: Cukai rokok naik, Asosiasi Petani Tembakau: Industri akan banyak berguguran
Kendati demikian, Abdillah mengatakan, tarif rata-rata 17% itu harus efektif menyasar pada jenis rokok yang memang banyak dikonsumsi. Dia menyarankan, rokok jenis sigaret kretek mesin (SKM) Golongan 1 harus dikenai batas atas kenaikan tarif cukai.
Sebab, perusahaan yang memproduksi rokok SKM Golongan 1 menguasai pangsa pasar rokok hingga 63% di tahun lalu dengan produksi lebih dari tiga miliar batang per tahun.
“Jangan sampai kenaikannya malah ke rokok yang pangsanya kecil, efeknya pengendalian konsumsinya nanti malah kecil juga,” tandas Abdillah.
Selanjutnya: APTI sebut rencana kenaikan tarif cukai rokok 17% membuat petani makin sengsara
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News