Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah berencana mulai mengenakan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada tahun ini. Apalagi, target penerimaan dari cukai MBDK ini telah tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.
Nantinya, penggolongan cukai MBDK di Indonesia berdasarkan kadar gula atau pemanis yang dikandung. Hal ini sejalan dengan kajian The American Heart Association (AHA) yang mengusulkan pengenaan tarif cukai MBDK berdasarkan kadar gula yang dikandungnya.
Setidaknya, ada tiga kategorisasi MBDK yang akan dikenakan cukai. Pertama, MBDK yang mengandung pemanis berupa gula dengan kadar lebih dari 6 gram per 100 ml.
Kedua, MBDK yang mengandung pemanis alami dalam kadar berapapun. Ketiga, MBDK yang mengandung pemanis buatan dalam kadar berapapun.
Baca Juga: Siap-siap! Minuman dengan Kadar Gula Ini Bakal Dikenai Cukai
Kendati begitu, Kepala Seksi Potensi Cukai, Subdirektorat Potensi Cukai dan Kepatuhan Pengusaha Barang Kena Cukai, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Ali Winoto mengatakan bahwa nilai batasan kadar gula tersebut masih bisa berkembang lantaran batasan tersebut tergantung dari kesepakatan antara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama kementerian/lembaga terkait.
"Jadi ketika nanti batasan itu dia lebih tinggi dari 6 gram per 100 ml itu dari BPOM diatur bahwa itu minuman tidak sehat. Dan kalau di bawah 6 gram per 100 ml itu minuman yang lebih sehat," ujar Ali dalam Webinar Bijak, Kamis (11/1) yang lalu.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (Asrim) Triyono Projosoesilo menilai bahwa pengenaan cukai MBDK bukan merupakan kebijakan yang tepat untuk menuntaskan permasalahan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia.
Dia menjelaskan, PTM merupakan kondisi yang disebabkan oleh multi faktor, mulai dari faktor konsumsi, aktivitas fisik, genetik dan sebagainya.
Pola konsumsi itu termasuk konsumsi makanan dan minuman non olahan dan olahan. Ia bilang, konsumsi masyarakat Indonesia adalah 70% konsumsi makanan dan minuman non olahan. Sementara sisanya berupa makanan dan minuman olahan, di mana MBDK termasuk didalamnya.
Dari Data Total Diet Study (TDS) 2014 menunjukkan bahwa kategori minuman termasuk susu (non olahan dan olahan) memiliki kalori yang berkontribusi hanya 10% dari total makanan minuman (mamin) yang dikonsumsi. Nah, dari 10% tersebut, bagian MBDK hanya sebesar 24%.
Berdasarkan data tersebut, ia menilai, sebenarnya dari total konsumsi makanan dan minuman masyarakat Indonesia, bagian MBDK hanya berkisar 2% hingga 3% saja.
"Sehingga tidak tepat atau logis mengenakan cukai di kategori makanan dan minuman yang kontribusinya kecil dan berharap akan dampak positif terkait dengan pengelolaan resiko PTM," ujar Triyono kepada Kontan.co.id, Senin (29/1).
Menurutnya, apabila pemerintah tetap menjalankan kebijakan tersebut meski sudah memahami bahwa tidak akan efektif dalam menekan PTM, maka pengenaan cukai tersebut harus mencakup makanan dan minuman baik olahan maupun non olahan yang mengandung gula. Hal ini dikarenakan, makanan dan minuman tersebut berkontribusi terhadap total asupan kalori.
"Terkait dengan threshold (ambang batas) gula 6 gram per 100 ml, menurut kami itu adalah bagian dari overall desain cukai dan overall paket kebijakan untuk pengelolaan resiko PTM. Tidak bisa dilihat secara berdiri sendiri," katanya.
Baca Juga: Kemenkeu Raup Penerimaan Cukai Minuman Beralkohol Rp 8,1 Triliun Sepanjang 2023
Triyono bilang, threshold harus menjadi bagian dari tiering system yang mendorong reformulasi di seluruh produk mamin. Reformulasi tersebut bukan saja terkait dengan penurunan kadar gula namun juga penggunaan pemanis baik alami maupun buatan.
"Tentunya reformulasi ada konsekuensi biaya, waktu, akses bahan baku dan lain-lain yang harus dipertimbangkan oleh pelaku usaha," terang Triyono.
Sementara itu, Kepala Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugraha sependapat dengan batasan kadar gula yang dikenai cukai, yakni di atas 6 gram per 100 ml. Untuk itu, para pengusaha diharapkan bisa menyesuaikan dengan aturan yang ada.
"Dan tentunya dalam hal ini pastinya para pelaku usaha akan menyesuaikan dengan produk-produk yang sebelumnya sudah dikeluarkan," ujar Andry.
Ia berharap, pemerintah bisa memberikan jangka waktu kepada pelaku usaha untuk menyesuaikan dengan kebijakan tersebut dan menyesuaikan produk-produknya dengan aturan yang berlaku.
Tak hanya itu, ia juga menyarankan kepada pemerintah untuk mengenakan cukai kepada produk MBDK yang diproduksi secara industri saja, namun juga bisa dikenakan pada produk-produk franchise yang semakin menjamur di Indonesia.
Baca Juga: DJBC Pastikan Tarif Cukai Minuman Berpemanis (MBDK) yang Ditetapkan akan Moderat
"Sementara produk lain misalnya saat ini kan cukup banyak franchise minuman manis itu juga menurut saya juga harus dikenakan karena dari segi konsumen sendiri untuk sekarang sudah banyak yang mulai bergeser," katanya.
"Harapannya tidak di satu produk saja, tetapi juga produk-produk yang memiliki gula yang tinggi," imbuh Andry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News