Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID-JAKARTA Di tengah upaya pemerintah memaksimalkan penerimaan pajak melalui Coretax System, isu mengenai celah penghindaran pajak tetap perlu menjadi perhatian serius.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa celah penghindaran pajak, baik di dalam maupun di luar koridor hukum, merupakan fenomena global yang sulit dihindari.
"Di negara manapun, celah untuk membayar pajak lebih rendah dari yang seharusnya selalu ada, baik di dalam ataupun di luar koridor hukum. Yang perlu dilakukan adalah miminimalisir," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (26/12).
Menurut Fajry, penerapan Coretax merupakan langkah strategis yang dapat mengurangi potensi celah penghindaran pajak.
Pasalnya, sistem canggih ini menawarkan perubahan mendasar pada proses bisnis serta penguatan manajemen risiko yang dirancang untuk meningkatkan pengawasan.
"Coretax bisa meminimalisir hal tersebut, baik itu melalui perubahan proses bisnis ataupun risk management yang memperkuat sisi pengawasan," katanya.
Baca Juga: Sudah Tahap Praimplementasi, Sistem Pajak Canggih Coretax Meluncur Januari 2025
Selain penguatan pengawasan, Fajry juga menekankan pentingnya regulasi anti-avoidance. Aturan ini bertujuan untuk menghalangi praktik penghindaran pajak yang sering kali dilakukan melalui celah legal dalam sistem perpajakan.
Namun, Fajry bilang, kunci utama keberhasilan adalah penggunaan data dari pihak ketiga.
"Jadi, perbaikan data administrasi, dan regulasi sudah cukup untuk mengatasinya," imbuh Fajry.
Hanya saja, Coretax yang digadang-gadang sebagai solusi modern dalam administrasi perpajakan Indonesia, ternyata menyimpan sejumlah tantangan.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute, Prianto Budi Saptono.
Prianto menyebut, meski Coretax menawarkan integrasi teknologi informasi untuk mendukung proses perpajakan, celah (loopholes) dalam penerapannya tetap tidak dapat dihindari.
"Logika dasarnya adalah bawah setiap buatan manusia, baik berbentuk aplikasi berbasis teknologi informasi maupun peraturan pajak, tidak akan pernah sempurna. Dengan demikian, selalu ada celah (loopholes) yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan tertentu," terang Prianto.
Menurutnya, Coretax yang mengintegrasikan 21 proses bisnis administrasi perpajakan ke dalam satu platform, dirancang untuk meningkatkan efiensi dan transparansi.
Namun, Prianto menyoroti bahwa ada beberapa fitur di Coretax yang berpotensi bertentangan dengan Undang-Undang Pajak, seperti:
1. Tidak mengakomodasi tarif 20% lebih tinggi sesuai Pasal 21 ayat (5a) UU PPh.
2. Tidak mendukung tarif 100% lebih tinggi sesuai Pasal 22 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (1a) UU PPh.
3. Tidak mengakomodasi pengkreditan Pajak Masukan untuk masa tiga bulan sesuai Pasal 9 ayat (9a) UU PPN.
"Ketika Coretax dan PMK 81/2025 berlaku, tidak mustahil akan ada elemen masyarakat yang melakukan judicial review ke Mahkamah Agung," katanya.
Selain kelemahan dalam desain aplikasi, Prianto juga menyoroti ambiguitas dalam peraturan perpajakan sebagai sumber utama sengketa pajak. Menurutnya, interpretasi atas norma hukum sering kali menjadi perdebatan antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Prianto mengatakan, Wajib pajak biasanya mencari celah agar transaksi mereka tidak terutang pajak, sementara petugas pajak berusaha menafsirkan aturan agar transaksi tersebut menjadi terutang pajak.
"Kondisi demikian seringkali berujung pada sengketa pajak. Jadi, celah untuk penghindaran pajak tetap selalu ada dan tergantung pada kreativitas wajib pajak sehingga muncul istilah creative compliance (kepatuhan yang kreatif)," imbuhnya.
Ia menegaskan bahwa Coretax hanya membantu DJP dalam dua hal utama. Pertama, meningkatkan kualitas pelayanan sehingga biaya kepatuhan wajib pajak dan biaya administrasi di DJP dapat ditekan.
Kedua, meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan untuk mengoptimalkan penerimaan negara.
Hanya saja, Coretax tidak bisa sepenuhnya mengatasi celah yang ada dalam regulasi dan interpretasi hukum.
Prianto menjelaskan, proses kepatuhan pajak berkaitan dengan kepatuhan formal (bayar dan lapor tepat waktu) serta kepatuhan material.
Aspek kepatuhan material tersebut berkaitan dengan dua jenis interpretasi, yaitu, interpretasi terhadap transaksi yang berasal dari hukum perjanjian (kesepakatan perdata) dan interpretasi terhadap norma hukum pajak.
"Dua aspek interpretasi di atas masih memungkinkan muncul ambigu dan multitafsir karena perspektif wajib pajak dan petugas pajak berbeda," pungkasnya.
Baca Juga: Sistem Coretax Meluncur Januari 2025, DJP Optimistis Penerimaan Pajak Meningkat
Selanjutnya: Badan Gizi Nasional Tekankan Tak Libatkan Ormas di Program Makan Bergizi Gratis
Menarik Dibaca: Promo Berhadiah Indomaret sampai 8 Januari 2025, Parfum-Sunscreen Beli 1 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News