Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Popularitas dan penghasilan para content creator atau influencer di era digital semakin meroket.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang memiliki kekayaan luar biasa. Namun, di balik kemilau industri ini, optimalisasi penerimaan pajak dari profesi tersebut masih menghadapi sejumlah kendala.
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, pemetaan pajak atas influencer masih sulit dilakukan karena belum adanya Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang secara khusus mengakomodasi profesi tersebut.
Baca Juga: Potensi Pajak Influencer dan Content Creator Cukup Besar, Tapi Belum Maksimal Digarap
Menurutnya, kegiatan dari influencer tidak terdefenisikan pada satu KBLI saja, dan dalam KBLI tersebut tidak membedakan mana yang influencer maupun yang bukan.
"Atas hal tersebut maka sulit untuk menilai apakah penerimaan pajak atas profesi influencer sudah optimal atau belum," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Senin (9/6).
Masalah ini menjadi lebih kompleks ketika seorang influencer memiliki profesi ganda. Hal ini akan semakin menyulitkan dalam melakukan mapping data atau penilaian terhadap potensi pajaknya.
Fajry menekankan bahwa kunci utama optimalisasi penerimaan pajak adalah ketersediaan data yang akurat dan dapat diandalkan.
Baca Juga: Pemerintah Akan Naikkan Pajak Rumah Tapak, REI: Tidak Bijak
“Jika kemudian dari data yang didapatkan tidak sesuai dengan yang dilaporkan, maka itu dapat dioptimalkan menjadi tambahan penerimaan bagi Otoritas Pajak,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa potensi penerimaan pajak dari sektor ini sangat besar.
Dengan terus meningkatnya peralihan dari media konvensional ke media digital, serta dari industri hiburan tradisional ke content creation, ia menilai bahwa urgensi untuk mengoptimalkan pajak influencer semakin tinggi.
"Apalagi, salah satu content creator punya harta hampir satu triliun," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News