kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

China lebih pilih Vietnam ketimbang Indonesia, ini catatan ekonom


Minggu, 08 September 2019 / 17:31 WIB
China lebih pilih Vietnam ketimbang Indonesia, ini catatan ekonom
ILUSTRASI. Kunjungan Menteri BUMN Rini M Soemarno ke pabrik Huayou Cobalt Company


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China membuat negeri Tirai Bambu terpaksa merelokasi sejumlah investasinya ke negara Asia. Vietnam adalah salah satu tujuan favorit relokasi China.

Beberapa perusahaan multinasional China hengkang ke Vietnam. Sebut saja produsen produk elektronik Foxconn relokasi ke Vietnam. Tak hanya itu, Vietnam juga dilirik oleh perusahaan padat karya seperti Xcel Brands dan Man Wah Holding.

Baca Juga: Perusahaan asal China enggan relokasi ke Indonesia, ini penyebabnya

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira menilai ada beberapa alasan investasi China lebih tertarik ke Vietnam. Faktor utama salah satunya karena perizinan relokasi industri manufaktur yang ribet di Indonesia.

Secara sistem perizinan, Bhima menilai Vietnam lebih terintegrasi antara pusat dan daerah. Sementara Indonesia antara pemerintah pusat dan daerah belum satu suara.

Bhima memberi contoh soal Online Single Submission (OSS) di bawah Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM) dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di tingkat daerah masih terhambat sinkronisasi izin wilayah.

“Investor yang  sudah mengantongi izin di pusat, di daerah bisa digantung berbulan bulan. Ibarat masuk satu pintu keluarnya seribu jendela,” kata Bhima kepada Kontan.co.id, Minggu (8/9).

Soal insentif fiskal lain lagi ceritanya. Kata Bhima insentif Vietnam lebih spesifik. Vietnam punya insentif yang mengatur tergantung lokasi pabrik dan jenis usahanya. Di mana rentang insentifnya sekitar 5%-20%.

Baca Juga: Perang dagang China-AS semakin memanas, ekspor karet terus digenjot

Sementara kalau di Indonesia, Bhima menilai pemerintah kasih banyak insentif tax holiday, tax allowances tapi belum menarik investor karena terlalu umum. “Padahal tahun 2018 pemerintah keluarkan belanja pajak  Rp 221 triliun setara 1,5% PDB.” ujar Bhima.

Menurut dia setiap sektor usaha butuh spesifikasi. Misalnya, investor di sektor tekstil lebih memilih insentif diskon tarif listrik di jam sibuk atau keringanan bea masuk untuk pengadaan mesin baru.

“Jadi tidak semua butuh tax holiday. Kalau insentif tidak spesifik namanya mubazir,” ujar dia.

Faktor lain, yang membuat Indonesia belum dilirik soal mahalnya biaya logistik yang berada dikisaran 22%-24% terhadap PDB. Artinya seperempat biaya sebuah produk sudah habis untuk ongkir sendiri.

“Padahal infrastruktur industri masih tertinggal, belum lagi proses bea cukai yang lama,” kata Bhima.

Selanjutnya soal sumber daya manusia (SDM) di sektor manufaktur. Kata Bhima banyak investasi manufaktur yang potensial khususnya tekstil, elektronik, dan otomotif. Sementara, di Indonesia hanya andalkan SDM dengan upah rendah.

Baca Juga: Perang dagang, Gapkindo akan manfaatkan peluang ekspor ke AS

Menurut Bhima upah bukan faktor utama perusahaan lakukan relokasi industri, melainkan karena SDM di Indonesia kurang kompetitif. Sementara, SDM di Vietnam cukup kompetitif dengan keahlian yang sudah disiapkan dengan berbagai kebutuhan industri.

“Yang diajarkan di lembaga pendidikan tidak berkorelasi dengan kebutuhan rantai pasok global. Itu pekerjaan rumah yang perlu diperbaiki. Reformasi institusi pendidikan secara radikal yang diperlukan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×