kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Bukan Insentif DTP, Ini Insentif yang Lebih Dibutuhkan Kelas Menengah


Kamis, 21 November 2024 / 14:34 WIB
Bukan Insentif DTP, Ini Insentif yang Lebih Dibutuhkan Kelas Menengah
ILUSTRASI. Suasana di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Senin (18/11/2024). Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025 menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan pengusaha, khususnya di sektor ritel dan pusat perbelanjaan. Mereka memproyeksikan kenaikan tersebut tidak hanya memicu lonjakan harga barang, tetapi juga semakin menekan daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah, yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia./pho KONTAN/Carolus Agus Waluyo/18/11/2024.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Demi mendorong daya beli kelas menengah selama ini pemerintah telah memberikan insentif pajak ditanggung pemerintah (DTP). Misalnya pajak pertambahan nilai (PPN) DTP di sektor properti.

Namun sebenarnya, insentif tersebut tidak terlalu diperlukan oleh masyarakat menengah. Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyebut, kebutuhan kelompok tersebut berbeda jika dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan rendah yang pada umumnya mendapatkan bantuan sosial (bansos).

"Jadi kalau insentifnya kelas menengah itu unik, dia gak bisa dikasih bansos," ujar Eko saat ditemui di Jakarta, Kamis (21/11).

Baca Juga: PPN Akan Dinaikkan Jadi 12%, Apa Kabar UMP 2025?

Menurutnya, insentif yang diperlukan oleh kalangan menengah adalah insentif non fiskal seperti menjaga tarif transportasi umum agar tidak naik.

"Misalnya tarif angkutan umum jangan sampai naik dulu, itu sudah insentif yang bagus," katanya.

Selain itu, ia menambahkan bahwa kebutuhan seperti pulsa juga menjadi perhatian. Pasalnya, jika pemerintah memperbanyak wifi gratis di tempat-tempat publik, itu juga sudah membantu menghemat pengeluaran pulsa.

Baca Juga: Tren Fenomena Makan Tabungan, Bank Mandiri Klaim Saldo Tabungan Nasabah Masih Tumbuh

Eko juga menyarankan insentif lain yang lebih berorientasi pada pendidikan, seperti kursus gratis atau penyediaan materi edukasi berbentuk video untuk anak-anak dari kalangan kelas menengah.

"Tapi sebetulnya justru karena keunikannya itu bentuk insentifnya bisa banyak, tidak harus memberi bansos," katanya.

Sementara dari sisi fiskal, Eko mendorong pemerintah untuk menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Menurutnya, kenaikan PTKP dapat meningkatkan daya beli masyarakat karena menambah pendapatan yang dapat dibelanjakan.

"Hanya masalahnya itu adalah itu bisa tidak efektif kalau kemudian memang masyarakatnya sudah makan tabungan," tutup Eko.

Selanjutnya: Harga Pangan di Jakarta: Minyak Goreng Curah, dan Ikan Tongkol Naik, Kamis (21/11)

Menarik Dibaca: Promo Hypermart Dua Mingguan s/d 4 Desember 2024, Ayam Korea Diskon Rp 10.000

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×