Reporter: Dani Prasetya | Editor: Edy Can
JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap 35 temuan pada laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2005-2009. Dari jumlah temuan pemeriksaan itu baru delapan yang sudah ditindaklanjuti sesuai dengan saran BPK, sedangkan sisanya sedang ditindaklanjuti.
Dalam pidato Ketua BPK Hadi Purnomo mengatakan, pemeriksaan yang sudah dilanjuti di antaranya adalah penyelerasan pembiayaan dari penarikan utang luar negeri dengan dokumen sumber, pengakuan kewajiban pemerintah atas program Tunjangan Hari Tua (THT), penetapan akuntansi selisih kurs dan pencatatan aset Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS).
Sementara, pemeriksaan yang masih dalam proses tindak lanjut yaitu penyempurnaan aplikasi penerimaan perpajakan, penyempurnaan mekanisme pelaporan hibah langsung pada Kementerian/Lembaga (KL), penertiban pengelompokan dalam penganggaran, perbaikan metode dan pencatatan hasil IP, serta perbaikan pencatatan SILPA (saldo anggaran lebih).
Atas temuan ini, BPK mengimbau, pemerintah menerapkan amanat Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara terutama pada poin penerapan standar akuntansi berbasis akrual. Beleid ini mengatakan, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual itu harus dilaksanakan selambat-lambatnya dalam kurun waktu lima tahun.
"Tahun 2010 ini tahun ketujuh pelaksanaan undang-undang itu. Artinya, kita itu sudah melewati tenggat waktu. Sayangnya, pemerintah belum dapat menerapkan pengakuan pendapatan dan belanja berbasis akrual," ungkapnya.
Selain itu, Hadi mengatakan pemerintah harus menerapkan dua basis akuntansi sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No71 tahun 2010 yaitu basis kas untuk laporan realisasi anggaran (LRA) dan basis akrual untuk neraca.
"Pemerintah perlu juga segera mempertimbangkan perlakuan penyusutan terhadap aset tetap dan penyisihan piutang sehingga aset tetap dan piutang dapat disajikan sebesar nilai buku (nilai yang dapat direalisasikan). Hal ini bisa meningkatkan keandalan laporan keuangan pemerintah," papar dia.
Anggota DPR dari Fraksi Demokrat Achanul Qosasih meminta, BPK memaparkan laporan itu di hadapan komisi bersangkutan dan menyerahkannya pula pada Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN). Hal itu agar ada tindak lanjut pemberian sanksi terhadap kementerian bersangkutan yang tidak melaporkan asetnya. "Karena miris juga mengetahui kalau ada sekitar Rp 56,42 triliun hasil IP (Inventarisasi dan Penilaian) aset tetap dari empat kementerian/lembaga yang belum dibukukan," ucap dia.
Wakil Ketua DPR Anis Matta menilai, BPK perlu menindaklanjuti masalah ini dan berkoordinasi dengan BAKN agar ada transparansi dan akuntabilitas pada pencatatan laporan keuangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News