Reporter: Hans Henricus |
JAKARTA. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak hanya memberikan opini disclaimer alias tidak menyatakan pendapat terhadap laporan keuangan Kementerian Kesehatan tahun 2009. Auditor negara itu juga akan menggelar audit investigasi untuk mengungkap ada tidaknya kerugian negara. "Saya tidak bisa katakan sekarang pasti ada kerugian negara, tapi bau-baunya sudah ada lah," ujar anggota VI BPK, Rizal Djalil di kantor BPK, Rabu (30/6).
BPK berencana menggelar audit investigasi setelah menemukan sejumlah ketidakwajaran dalam laporan keuangan Kementerian Kesehatan tahun 2009. Hasil temuan BPK itu antara lain dana bantuan sosial lebih dari Rp 500 miliar untuk tahun 2009 laporanya tidak jelas alias tidak bisa dipertanggungjawabkan
Rinciannya, dana tim pengelola program Jamkesmas yang belum dipertanggungjawabkan sebesar Rp 23,8 miliar. Kemudian, Rp 403 miliar anggaran untuk Jamkesmas tidak terpakai dan tersimpan di kantor pos.
Selanjutnya, dana bantuan desa siaga sebesar Rp 51,7 miliar tersimpan di kantor pos. Lalu, dana untuk operasional program Posyandu Rp 67,3 miliar. Terakhir, dana untuk pelatihan bidan pos kesehatan desa sebesar Rp 16,7 miliar, juga belum bisa dipertanggungjawabkan.
Tak cuma itu, BPK juga menemukan pengelolaan aset atau barang milik negara yang tidak jelas. Temuan itu antara lain, tanah Rumah Sakit Jiwa Dr Marzuki Mahdi di Bogor dipakai untuk lapangan golf. "Sekarang statusnya tidak jelas dan dalam proses hukum," ujar mantan anggota DPR Komisi XI itu.
Aset Kemenkes berupa tanah Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan di Cilandak, Jakarta Selatan, tanah dan bangunan di jalan Kimia Jakarta, serta tanah di jalan Teuku Cik Di Tiro Menteng nomor 3, 5 dan 7 Jakarta Pusat, juga dimanfaatkan oleh pihak lain tanpa ada perjanjian yang jelas.
Selain itu, tanah di Hang Jebat III Kebayoran baru digunakan pihak lain tanpa ada perjanjian sewa menyewa. Hal serupa juga terjadi pada Tanah dan bangunan di jalan Percetakan Negara 1 Jakarta Pusat. "Tanah ini dulunya ditempati Namru, tapi sudah tidak beroperasi lagi disana," terang Rizal.
BPK juga menilai laporan pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan sangat buruk. Sebab, anggaran yang bersumber dari denda keterlambatan maupun kekurangan pengerjaan perusahaan rekanan, tidak disetorkan ke kas negara.
Rizal merinci sejumlah perusahaan rekanan Kementerian Kesehatan yang masih memiliki kewajiban membayar yaitu PT indofarma Global Medika (Rp 2 miliar), PT. Kimia Farma (Rp 5,8 miliar), dan PT pembangunan Perumahan (Rp 6,4 miliar), PT Rajawali (Rp 19,7 miliar). "Jadi seharusnya disetorkan ke kas negara dalam konteks pengadaan barang dan jasa berkaitan denda keterlambatan atau pekerjaan kurang dan sebagainya," terang Djalil.
BPK juga menemukan 24 rekening tidak jelas di Kementerian Kesehatan. Menurut Rizal nilainya mencapai Rp 503 miliar. Menteri Keuangan belum menyetujui pembukaan rekening ini, sebab tidak didaftarkan atas nama bendahara penerima atau bendahara pengeluaran. Rekening liar itu banyak mengatasnamakan pribadi dan institusi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News