Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua Umum Asosiasi Ritel Indonesia (Aprindo) Roy Mandey menyatakan dalam beberapa tahun belakangan bisnis ritel mengalami stagnansi. Terutama soal pertumbuhan yang terus menerus anjlok.
"Pada 2014 pertumbuhan masih sekitar 12%-13%, 2015 7%-7,5%, 2016 8%, nah yang paling parah memang pada 2017 ini angka terendah selama 10 tahun terakhir hanya 4,5%," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (3/7).
Tergerusnya bisnis ritel, disebut Roy utamanya memang soal kalah efisien dengan bisnis daring. Ritel lebih butuh banyak biaya operasional, macam sewa tempat, pegawai.
Oleh karenanya, para peritel diharapkan Roy bisa mengubah model bisnisnya, termasuk bertransformasi ke lajur bisnis daring.
"Ukuran luasan store misalnya yang terlalu besar sementara transaksi tidak signifikan pasti akan menggerus laba. Makanya perlu untuk mengubah bisnis model, strategi penjualan, dan juga memperbesar channel distribusi, dan juga harus masuk online," jelasnya.
Meski disebut tergerus, dari aspek hukum, sektor ritel sejatinya memang belum banyak digugat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) maupun pailit. Daei data yang dihimpun Kontan.co.id sepanjang semester I 2018, hanya ada 2 perusahaan ritel yang diajukan pailit, dan 3 permohonan PKPU.
Memang beberapa peritel besar sempat tersandung persoalan utang piutang di pengadilan. Misalnya peritel Home Solution yang pada Januari 2018 menyatakan diri insolvensi alias tak bisa membayar seluruh utang-utangnya. Dalam perkara PKPU tersebut, Home Solution tercatat memiliki utang senilai Rp 125,36 miliar kepada 38 kreditur.
Sebelum ini, ada pula PKPU yang harus dijalani oleh PT Pazia Pillar Mercycom, peritel Pazia. Lain nasib, PKPU Pazia berakhir homologasi. Sementara tagihannya senilai Rp 288,056 miliar dari 13 kreditur.
Teranyar, PT Sumber Electrindo Makmur peritel Electronic Solution diajukan PKPU oleh dua vendornya yaitu PT DHL Supply Chain Indonesia, dan PT Astrindo Satrya Kharisma. Permohonan ini sendiri terdaftar dengan nomor perkara 79/Pdt.Sus-PKPU/2018/PN Jkt.Pst pada 8 Juni 2018 di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
"DHL itu konsultan supply chain, kalau Astrindo agen tiket, biasanya digunakan termohon PKPU untuk perjalanan dinas misalny," kata kuasa hukum DHL dan Astrindo Tuning Sumiasih dari kantor hukum dari kantor hukum Vincent Edwin Hasjim & Partners saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (3/7).
Tuning menambahkan upaya PKPU diajukan, sebab Electronic Solution memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
"Nilainya sebenarnya kecil dua pemohon hanya sekitaran Rp 300 juta, tapi utangnya sudah jatuh tempo hampir dua tahun belum dibayar," sambung Tuning.
Sidang perkara ini sendiri telah dilaksanakan dua kali, pada Senin (2/7), dan Selasa (3/7). Namun dalam kedua sidang, pihak Electronic Solution tak hadir.
Kontan.co.id mencoba mengonfirmasikan hal ini dengan menghubungi nomor telepon dua Kantor Electronic Solution di Cempaka Putih, dan Kelapa Gading. Namun tak ada jawaban, Kantor di Kelapa Gading tak mengangkat sambungan telepon, sementara kantor Kelapa Cempaka Putih sudah tak aktif.
Tuning juga sempat memberikan kontak Sekretaris Direksi PT Sumber Electrindo Makmur bernama Elvira. Tuning bilang Elvira lah yang melakukan korespondensi dengan pihak pemohonnya terkait perkara ini. Hanya saja ketika dihubungi, Elvira bilang ia bukan karyawan Sumber Electrindo.
"Saya bukan karyawan PT Sumber, dulu memang pernah membantu perusahaan, tapi sekarang sudah tidak," katanya saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (3/7).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News