Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Reformasi kebijakan pemerintah yang menaikkan bahan bakar minyak (BBM) belum menjadi akhir ekonomi Indonesia bisa lebih baik tahun depan. Bank Indonesia (BI) masih melihat ada risiko ke depan yang tidak mudah.
Salah satu tantangan yang menanti di depan mata adalah risiko goncangan di pasar keuangan global yang dipicu oleh kenaikan suku bunga di Amerika Serikat. Gubernur BI Agus Martowardojo mengatakan cepat atau lambat normalisasi kebijakan Bank Sentral Amerika The Fed akan terjadi.
Menurut dirinya, kenaikan suku bunga Amerika sekecil apapun akan mengubah keseluruhan arus moneter. Risiko investasi dan aset finansial di pasar global akan mengikuti kenaikan suku bunga The Fed. Ini akan memicu pergeseran penempatan investasi portofolio lintas negara.
Akibatnya, likuiditas dolar Amerika dapat mengetat terutama di negara dengan fundamental ekonomi yang lemah. "Bagi Indonesia, normalisasi kebijakan ekonomi moneter di Amerika dapat berimplikasi pada berkurangnya aliran modal masuk," ujar Agus dalam Sambutan Akhir Tahun Gubernur BI dan Pertemuan Tahunan Perbankan 2014 yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC) Jakarta, Kamis (20/11).
Aliran masuk ini yang kemudian memberi manfaat bagi pembiayaan fiskal dan defisit neraca transaksi berjalan. Asal tahu saja, aliran masuk dari awal tahun hingga pertengahan November 2014 mencapai Rp 177 triliun atau setara dengan US$ 15 miliar. Arus masuk ini adalah arus terbesar yang pernah terjadi di Indonesia.
Maka dari itu, jika terjadi kenaikan suku bunga Amerika aliran masuk yang besar ini bisa terguncang. Kalau terguncang, rupiah akan menuai gejolak.
Sekedar gambaran, sejak Mei 2013 hingga pertengahan November 2014, kurs rupiah telah terdepresiasi sebesar 25,5%. Tidak heran pada saat ini rupiah betah bertengger pada level di atas Rp 12.000. Rupiah mulai bergejolak pada Mei tahun lalu ketika isu penghentian stimulus Amerika dimulai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News