Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Seharusnya Pemerintah Indonesia malu dengan negara tetangga Filipina, karena kondisi makro ekonomi Filipina saat ini lebih baik dibandingkan Indonesia.
"Rasio makro Filipina lebih sehat daripada Indonesia," kata Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara akhir pekan ini.
Ekonomi Filipina pada kuartal III-2014 diproyeksikan mencapai 5,7%, sedangkan Indonesia hanya 5,1%. Ekspor-impor Filipina positif 3,6% dibanding PDB mereka, sedangkan Indonesia diproyeksikan defisit 4,3% dari PDB. "Kelihatan, ekspor Filipina lebih besar dari impor mereka," tambah Mirza.
Adapun rasio utang Filipina sebesar 21% dari PDB, sedangkan Indonesia 31% dari PDB. Neraca Filipina juga positif 0,5%, sementara Indonesia masih mengalami defisit.
"Jadi Filipina itu rasionya lebih bagus dari Indonesia. Kita harusnya malu sama Filipina. Kok Filipina bisa mengelola makro mereka lebih baik?" tanya Mirza.
Mirza menengarai, salah satu penyebabnya adalah Filipina menjual bahan bakar minyak (BBM) mereka dengan harga pasar. Dengan makro ekonomi yang baik, maka risiko pembalikan arus modal akan minim ketika The Fed benar-benar menaikkan suku bunganya.
Mirza memastikan, suku bunga 0,25% di bank sentral Amerika Serikat saat ini, sangatlah tidak normal. Suku bunga normalnya adalah sebelum 2008, di rentang 2,5-4%. Ketika terjadi krisis, AS menurunkan suku bunga menjadi 0,25%.
Pada saat suku bunga turun, modal membanjiri Indonesia. Karena itu, bisa saja terjadi pembalikan arus modal pada kuartal VI-2014. Pembalikan arus modal pernah terjadi pada kuartal III/IV-2013. Waktu itu kisaran modal keluar sekitar 5 miliar dollar AS, dan membuat rupiah melemah dari Rp 9.500 menjadi Rp 11.000an per dollar AS.
Agar tidak terjadi goncangan di pasar keuangan yang potensial merembet ke sektor riil, BI banyak melakukan intervensi, sehingga cadangan devisa turun dari US$ 120 miliar, menjadi menjadi US$ 92 miliar.
Beruntung cadangan devisa saat ini naik lagi menjadi di kisaran US$ 111 miliar. "Kita harus menghindari risiko ini (terulang). Caranya bagaimana? Kita harus benahi defisit di APBN dan neraca ekspor-impor barang dan jasa. Cara jangka pendek adalah dengan mengurangi subsidi BBM," tukas Mirza. (Estu Suryowati)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













