Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Ekonomi Indonesia mendapat tantangan besar tahun depan. Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve diperkirakan bakal menaikkan suku bunga acuan. Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo memporeksi, The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin (bps)-115 bps pada semester pertama 2015.
Dampak kenaikan suku bunga The Fed itu akan dirasakan oleh negara berkembang yang fundamental ekonominya lemah. Untuk itu, Indonesia harus memperbaiki fundamental ekonomi. Misalnya, memperbaiki sektor hilirisasi, infrastruktur, ketahanan pangan dan energi.
Menurut BI, penyehatan fiskal dan sektor ril menjadi dua kebijakan garda terdepan untuk mengantisipasi langkah The Fed. Apalagi, saat ini Indonesia memiliki risiko pada inflasi dan defisit transaksi berjalan. Karena itu, BI siap turun tangan menjaga fundamental ekonomi. "Kita akan mengambil langkah-langkah berat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Langkah ini bisa membuat hard landing," ujar Agus, akhir pekan lalu.
Menurut Agus, BI berkomitmen mengarahkan defisit transaksi berjalan sehat. Tapi, ia belum memastikan suku bunga BI akan ikut naik. Sebab, suku bunga 7,5% saat ini sudah mencerminkan fundamental ekonomi dan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan yang sehat. "Kalau ada risiko stabilitas sistem keuangan, BI akan melakukan respons untuk meyakinkan ekonomi Indonesia tetap stabil," tandas Agus.
Menteri Keuangan Chatib Basri, menambahkan, bila The Fed menaikkan suku bunga di atas 100 bps, seluruh negara berkembang termasuk Indonesia akan terkena dampaknya. Yang akan menjadi isu utama adalah dampak pada capital account, bukan pada defisit transaksi berjalan.
Imbal hasil di Amerika akan lebih tinggi dibandingkan negara berkembang. Hal ini bisa menimbulkan arus keluar.
Jadi, kata Chatib, pemerintah perlu mengurangi ketergantungan pada pembiayaan luar. Karena itu, pemerintah akan bekerjasama dengan Badan Pelaksana Jaminan Sosial sebagai salah satu upaya meningkatkan pembiayaan dari dalam negeri. "Ini penting karena kalau terjadi pembalikan, gejolak di pasar menjadi sangat besar," beber Chatib.
Kepala Ekonom BII Juniman menilai, pemerintah harus memperluas ruang fiskal 2015 untuk mendorong infrastruktur. Hal ini bisa terjadi bila pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi sebesar Rp 2.000. Dengan naik Rp 2.000, defisit bisa turun dari 2,32% ke 1,8%.
Selain itu, pemerintah harus mengubah struktur ekonomi ke sektor yang bisa menyerap banyak tenaga kerja seperti pertanian dan manufaktur. Kalau hal itu tidak dilakukan, BI akan melakukan moderasi agar ekonomi kita stabil dengan menaikkan suku bunga.
Tapi, kenaikan suku bunga harus jadi langkah terakhir. Sebab, jika suku bunga naik, dampaknya pertumbuhan Indonesia pada 2015 akan sama dengan tahun ini yang diperkirakan 5,2%. "Ini jadi taruhan pemerintah. Harus beri stimulus yang baik," kata Juniman.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, Indonesia punya permasalahan pada defisit transaksi berjalan. Selama ini defisit tersebut tertutup dari capital account portofolio yang masih kencang masuk.
Untuk menjaga dana tetap masuk, BI masih perlu mengikuti langkah The Fed menaikkan suku bunga agar bisa jaga sentimen return investasi di tahun depan. Namun, pemerintah harus membangun infrastruktur demi mengkompensasi kenaikan suku bunga BI. "Kalau infrastruktur tidak dibangun, portofolio akan menuntut kenaikan suku bunga supaya imbal hasil tetap terjaga," papar Lana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News