Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pelemahan rupiah selalu lebih dalam dibandingkan dengan laju inflasi. Hal ini bisa menyebabkan industri, khususnya yang bahan baku berasal dari impor, kesulitan untuk menaikkan harga jual yang setara dengan kenaikan beban impor bahan baku.
Catatan KONTAN, dalam lima tahun terakhir hingga saat ini, total pelemahan rupiah mencapai 41%. Sementara di periode yang sama, inflasi mencapai 30,8%.
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, secara teori, jika inflasi terjaga, maka nilai tukar akan stabil. Meski demikian, di sisi lain, ia mengakui bahwa sulit untuk menjaga perubahan nilai tukar nominal sebesar inflasi.
"Sebab, ada faktor lain yang berpengaruh. Utamanya transaksi barang dan jasa (current account) dan transaksi modal (financial account) di neraca pembayaran Indonesia," kata Dody kepada KONTAN, Rabu (2/8). Menurutnya, hal ini tentu akan berdampak pada perekonomian.
Oleh karena itu, menurut Dody, penting bagi bank sentral untuk menjaga nilai tukar nominal sesuai dengan nilai fundamentalnya dengan volatilitas yang juga terjaga.
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara mengatakan, nilai tukar rupiah yang di bawah fundamentalnya (undervalue) lebih baik. Sebab, hal ini akan meningkatkan ekspor hingga bisa berdampak pada defisit transaksi berjalan (CAD).
"Walau masih sehat, tetap saja dibanding negara-negara tetangga kita yang current account-nya surplus seperti Malaysia dan Thailand. Sementara untuk bisa menjadi surplus, kita harus tingkarkan ekspor dan kendalikan impor," kata Mirza, Kamis (27/7) lalu.
Sayangnya, pelemahan rupiah tersebut bisa memberatkan importir. Jika demikian, maka kegiatan impor Indonesia bisa terganggu yang ujungnya akan mempengaruhi ekonomi dalam negeri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News