kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.678.000   -23.000   -1,35%
  • USD/IDR 16.265   95,00   0,58%
  • IDX 6.638   24,89   0,38%
  • KOMPAS100 989   6,52   0,66%
  • LQ45 772   2,68   0,35%
  • ISSI 204   1,51   0,74%
  • IDX30 401   1,74   0,43%
  • IDXHIDIV20 484   3,14   0,65%
  • IDX80 112   0,84   0,75%
  • IDXV30 118   1,00   0,85%
  • IDXQ30 132   0,57   0,44%

Bertentangan dengan UUD 1945, Pasal Penyebaran Berita Bohong di UU KUHP Dihapus


Sabtu, 23 Maret 2024 / 05:35 WIB
Bertentangan dengan UUD 1945, Pasal Penyebaran Berita Bohong di UU KUHP Dihapus
ILUSTRASI. Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong di KUHP bertentangan dengan UUD 1945.


Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasal larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran dihapuskan dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Ini setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan pasal mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang KUHP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. 

Hal itu tercantum dalam Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis (21/3).

"Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan, Kamis (21/3).

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengatakan, dalam konteks penyebaran berita bohong sebagai peristiwa pidana termasuk juga dalam informasi dan transaksi elektronik (ITE) selain harus dibuktikan ada kerugian pribadi bagi seseorang. Namun juga harus dapat dirumuskan adanya kerugian yang bisa menjadi atau merupakan kerugian kepentingan umum.

Baca Juga: Tak Lolos ke Senayan, PSI Tidak Akan Layangkan Gugatan ke MK

Dalam konteks ITE artinya bisa menimbulkan lahirnya pengetahuan banyak orang dan berpotensi merugikan banyak orang. Akan tetapi jika hanya disampaikan secara pribadi misalnya melalui WA pribadi, tidak ada kerugian kepentingan umumnya, maka hanya akan merugikan secara pribadi. Karena itu tidak dapat dikualifikasi sebagai pidana. 

Adapun, bagi yang merasa dirugikan boleh menggugat secara perdata. 

"Putusan MK kan jelas ke arah perlindungan atas kepentingan umum supaya tidak ada ketentuan pasal pidana yang karet, multi tafsir dan tidak berkepastian hukum," ujar Fickar saat dihubungi Kontan, Jumat (22/3).

Kemudian, Fickar mengatakan, media dan narasumbernya sejauh mempublikasikan peristiwa yang mengandung kepentingan umum, harus dilindungi dan dibebaskan dari tuntutan penyebaran berita bohong dan pencemaran nama baik seseorang. 

Prinsipnya kebebasan mengemukakan pendapat itu dilindungi sejauh didasarkan pada perlindungan atas prinsip kepentingan umum. Artinya seseorang tidak dapat dituntut jika yang dikemukakan meski dalam konteks peristiwa pribadi tapi ada aspek kepentingan umumnya yang terlanggar.

"Alasan MK mencabut pasal penyebaran berita bohong dalam KUHP sangat berdampak positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia," ucap Fickar.

Seperti diketahui, dalam pertimbangan hukum, Mahkamah berpendapat unsur “berita atau pemberitahuan bohong” dan “kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan” yang termuat dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP dapat menjadi pemicu terhadap sifat norma pasal-pasal a quo menjadi “pasal karet” yang dapat menciptakan ketidakpastian hukum. 

Sebab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dimaksud "pasal karet" adalah pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. 

Terlebih, dalam perkembangan teknologi informasi seperti saat ini yang memudahkan masyarakat dalam mengakses jaringan teknologi informasi, masyarakat dapat memperoleh informasi dengan mudah dan cepat. Informasi tersebut acapkali tanpa diketahui apakah berita yang diperoleh adalah berita bohong atau berita benar dan berita yang berkelebihan.

Menurut Mahkamah, jika dicermati terdapat ketidakjelasan terkait ukuran atau paramater yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara. 

Dalam KBBI, kata dasar keonaran adalah onar, yang memiliki beberapa arti, yakni kegemparan, kerusuhan, dan keributan. 

Sebab, dari telaahan makna kata “onar atau keonaran” dalam KBBI dimaksud, makna kata “keonaran” adalah bersifat tidak tunggal. 

Oleh karena itu penggunaan kata keonaran dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP berpotensi menimbulkan multitafsir, karena antara kegemparan, kerusuhan, dan keributan memiliki gradasi yang berbeda-beda, demikian pula akibat yang ditimbulkan. 

Baca Juga: Ganjar Mengaku akan Legawa atas Keputusan MK Soal Sengketa Pemilu 2024

Lebih lanjut, jika dikaitkan dengan hak kebebasan untuk berpendapat yang dijamin oleh UUD 1945, meskipun sesungguhnya bertujuan memberikan masukan atau kritik kepada penguasa sekalipun, hak-hak tersebut akan terancam aktualisasinya. 

Sebab, yang dapat atau mungkin terjadi adalah justru penilaian yang bersifat subjektif dan berpotensi menciptakan kesewenang-wenangan. 

Terlebih, dengan tidak adanya ketidakjelasan makna “keonaran” dalam Pasal 14 dan Pasal 15 KUHP tersebut, seseorang atau masyarakat yang dianggap menyebarkan berita bohong tidak lagi diperiksa berdasarkan fakta, bukti, dan argumentasi yang ada.

Sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat menjadi tidak dapat secara bebas mengawasi dan mengkritisi kebijakan pemerintah dengan cara mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945. Yaitu hak untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Mastering Finance for Non Finance Entering the Realm of Private Equity

[X]
×