Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Catatan Kontan.co.id, ada tiga beleid dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang sudah disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), tapi tidak kunjung dibahas. Padahal ketiganya masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2020.
Pertama, Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian atau RUU omnibus law perpajakan.
Baca Juga: Terdampak corona, Sri Mulyani jajaki utang luar negeri dari ADB dan IsDB
Omnibus law perpajakan terdiri atas 29 pasal, di antaranya mengatur soal:
· Penyesuaian tarif Pajak Penghasilan (PPh) Wajib Pajak (WP) Badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap.
· Terkait perlakuan perpajakan atas dividen dan penghasilan lain dari luar negeri.
· Pengaturan soal pengaturan tarif PPh atas bunga.
· Pengaturan pengenaan PPh bagi wajib pajak orang pribadi
· Membahas pengaturan pengkreditan pajak masukan
· Pengaturan mengenai sanksi administrasi perpajakan.
· Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE)
· Kemudian soal perluasan barang kena cukai
Tujuan Kemenkeu membuat beleid ini untuk mengatur tentang ketentuan dan fasilitas perpajakan untuk lima hal, yakni meningkatkan pendanaan investasi, menjamin keberlangsungan usaha dan mendorong kepatuhan wajib pajak secara sukarela, menciptakan keadilan iklim berusaha di dalam negeri, mendorong sektor prioritas skala nasional, dan meningkatkan pengembangan dan pendalaman pasar keuangan dalam rangka penguatan perekonomian.
Baca Juga: BI: Stabilitas sistem keuangan semester II-2019 terjaga di tengah ketidakpastian
Namun, beberapa pasal dalam RUU omnibus law perpajakan sudah dimuat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease (Covid-19). Misalnya, penurunan PPh Badan secara bertahap dan aturan PMSE.
Kedua, Revisi Undang-Undang (RUU) Bea Meterai. Dari sisi tarif, RUU Bea Meterai akan meningkatkan dan dijadikan satu tarif yakni sebesar Rp 10.000 per lembar meterai. Demikian batas nominal dokumen yang dikenai bea meterai, yaitu di atas Rp 5 juta.
Adapun tarif yang berlaku saat ini adalah tarif tertinggi Rp. 3.000 dan Rp. 6.000 per lembar meterai. Kemenkeu mempertimbangkan perubahan dari tarif bea meterai yang berlaku sejak tahun 2000, tentunya tidak sesuai kondisi ekonomi dan kemampuan masyarakat.
Dalam kajiannya, Kemenkeu berdalih pendapatan masyarakat sudah meningkat delapan kali lipat dibandingkan tahun 2000. Sehingga, masih ada potensi penerimaan bea meterai tanpa memberatkan masyarakat dengan menggunakan pendekatan rasio beban bea meterai terhadap pendapatan perkapita.
Baca Juga: Pemerintah cairkan dana bagi hasil daerah tanpa audit BPK untuk tangani korona
Ketiga, Peraturan Pemerintah (PP) soal cukai plastik. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, potensi penerimaan negara dari cukai kantong plastik diproyeksi mencapai Rp 1,61 triliun.
Perkiraan tersebut dengan perhitungan tarif cukai terhadap kantong plastik (kresek) sebesar Rp 30.000 per kilogram atau Rp 200 per lembar untuk tahap awal ini. Sementara konsumsi kantong plastik diperkirakan sebesar 53,53 kilogram per tahun.
Sri Mulyani menjelaskan, usulan pemerintah saat ini cukai dikenakan untuk kantong plastik berjenis tas kresek dengan ketebalan lebih kecil atau sama dengan 75 mikron. Subjek cukai kantong plastik adalah produsen pabrikan dalam negeri maupun importir atau produksi luar negeri.
Baca Juga: Foto di hand sanitizer viral, ini pesan Bupati Klaten agar warga cegah virus corona
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News