kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Bencana nasional batalkan kontrak bisnis? Ini penjelasan Mahfud MD dan pengamat hukum


Rabu, 15 April 2020 / 05:14 WIB
Bencana nasional batalkan kontrak bisnis? Ini penjelasan Mahfud MD dan pengamat hukum


Reporter: Barly Haliem | Editor: Sandy Baskoro

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Joko Widodo menetapkan bencana non-alam akibat wabah virus corona sebagai bencana nasional. Penetapan status bencana nasional itu tertuang dalam Keputusan Presiden (Kepres) No 12/2020.

Penetapan status bencana nasional itu rupanya membawa konsekuensi baru. Salah satunya, status bencana nasional akibat wabah corona itu masuk dalam kategori kondisi kahar (force majeure).

Situasi force majeure ini misalnya bisa menjadi alasan debitur untuk “mengingkari” perjanjian. Bahkan ada yang berpandangan force majeure ini bisa mengganggu bahkan membatalkan kontrak-kontrak bisnis.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD pun angkat suara. Kepres No 12/2020 memang menjadi pemberitahuan force majeure. “Tapi tidak otomatis membatalkan kontrak bisnis yang sudah dilakukan sebelum kepres dibuat,” kata Mahfud dalam rekaman video yang beredar, Selasa (14/4).

Dia menyatakan, kondisi kahar ini memang menjadi pintu untuk melakukan renegosiasi kontrak bisnis. Tapi dia mengingatkan bahwa proses renegosiasi itu tetap berpedoman pada Pasal 1.338 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata.

Pasal itu menyatakan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. “Jadi jangan disalahkaprahkan bahwa Kepres No 12/2020 secara otomatis membatalkan kontrak bisnis,” tandas pakar hukum tata negara ini.

Pemerintah, kata Mahfud, menyadari akan situasi dan implikasi status kondisi kahar tersebut. Oleh karena itu, sebagai wujud kehadiran negara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membuat relaksasi pembayaran debitur sektor keuangan. Intinya, para debitur itu berhak mendapatkan keringanan dan penundaan pembayaran cicilan karena situasi sekarang yang berat akibat tekanan wabah corona. “Semuanya sudah diatur melalui Peraturan OJK No 11/2020 tentang Stimulus Perekonomin,” kata Mahfud.

Praktisi dan pengamat hukum Michael Herdi  Hadilaya menyatakan, bencana nasional akibat penyebaran wabah virus corona memang masuk kategori force majeur. Dia juga sependapat dengan Menko Polhukam Mahfud MD bahwa force majeure tidak otomatis membatalkan perjanjian dan kontrak bisnis.

"Force majeure itu memang tujuannya supaya kalau ada wanprestasi enggak salah. Karena enggak salah, jadi enggak perlu bayar ganti rugi, denda, bunga, dan konsekuensi lainnya. Tapi bukan langsung membatalkan perjanjian atau kontrak," kata Michael kepada Kontan.co.id, Selasa (14/4).

Michael mengapresiasi penjelasan dari pemerintah yang disampaikan oleh Mahfud MD. Penjelasan ini merupakan bentuk upaya untuk menenangkan masyarakat, agar para pihak tidak perlu khawatir untuk tetap menjalankan perjanjian dengan penuh itikad baik.

Namun ia mengusulkan agar pemerintah bisa lebih tegas menyepakati bahwa keadaan saat ini adalah overmacht (kondisi kahar). Dengan penegasan itu, para pihak yang akan melakukan renegosiasi kontrak bisnis tidak perlu lebih dahulu berdebat bahwa Covid-19 ini overmacht atau bukan.

"Jadi kalau semua pihak sudah sepemahaman bahwa bencana nasional ini overmacht, proses renegosiasi diharapkan dapat berjalan dengan itikad baik dan berhasil menemukan titik temu," kata dia.

Dia menambahkan, secara teori ada beberapa kategori overmacht. Pertama apakah overmacht absolut atau relatif. Bahkan kalau melihat dari ruang lingkupnya ada yang  membagi overmacht menjadi lima kategori.

Nah, dalam pandangan Michael, situasi sekarang termasuk overmarcht berdasarkan penyebab keadaan darurat. Sebagai catatan, overmarcht berdasarkan keadaan darurat adalah keadaan memaksa yang ditimbulkan oleh kondisi yang tidak wajar, keadaan khusus yang bersifat segera, dan berlangsung dengan singkat, tanpa dapat diprediksi sebelumnya.

Kondisi ini misalnya mengacu pada situasi peperangan, blokade, pemogokan, epidemi, terorisme, ledakan, kerusuhan massa, termasuk di dalamnya kerusakan suatu alat yang menyebabkan tidak terpenuhinya suatu perikatan. "Epidemi saja masuk apalagi sekarang wabah corona masuk kategori pandemi," pungkas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×