Sumber: KONTAN | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Memang tak mudah meyakinkan pemerintah agar segera menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Meski harga minyak telah turun menjadi US$ 67,8 per barel (31/10), pemerintah punya sederet alasan mempertahankan harga BBM subsidi.
Tapi, jika melihat harga BBM industri non subsidi, terutama bensin Premium, yang mulai berlaku 1 November ini, seharusnya tak ada alasan berbelit untuk menurunkan harga. Mulai awal bulan ini, Pertamina telah menurunkan harga BBM non subsidi antara 16% sampai 23,8% dibanding Oktober silam. Harga jual Premium non subsidi, di wilayah I, antara lain Jakarta dan sekitarnya, misalnya, sebesar Rp 5.925 per liter dari semula Rp 6.622 per liter Oktober lalu.
Harga baru ini Rp 75 lebih rendah ketimbang Premium bersubsidi yang di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Kenapa bisa begitu? "Fluktuasi Mean of Platts Singapore (MoPS) dan nilai tukar rupiah menjadi acuan harga BBM non subsidi," dalih Anang Rizkani Noor, Juru Bicara PT Pertamina.
Boleh saja sampai di pabrik, harga itu berubah. Tapi, selisihnya tak banyak. "Tidak ada biaya tambahan. Paling hanya membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% dari jumlah yang dibeli. Itu saja," kata Ade Sudrajat, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API).
Pemerintah untung
Penurunan patokan harga MoPS yang selama ini menjadi acuan harga BBM non subsidi memicu pertanyaan, benarkah masyarakat masih mendapatkan subsidi bensin? Atau justru sejak harga minyak di bawah US$ 70 per barel masyarakat justru yang memberi subsidi lewat pajak dan pemerintah untung?
Sumber KONTAN di Pertamina menjelaskan, selama ini, patokan harga jual Pertamina sudah mengandung 10% PPN, pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) 5%, dan marjin Pertamina sebesar 9%. Dengan asumsi ini, Kurtubi, pengamat perminyakan memperkirakan, harga pokok produksi Premium saat ini sebesarĀ Rp 5.200 per liter.
Jika dengan marjin lebih besar dan tanpa subsidi saja harga Premium non subsidi bisa lebih rendah dari harga Premium bersubsidi, bisa jadi, selama ini Pemerintah mengambil untung dari pajak Premium bersubsidi. "Kalau soal harga, jangan tanya saya. Coba ke Bu Deni (Deni Wisnuwardhani, Manajer BBM Ritel) yang mengurusi harga," kilah Ahmad Faisal, Direktur Pemasaran Pertamina.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News