Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Pilar kedua akan berisi empat proposal yang masing-masing memuat hal, yaitu kontribusi pengguna (users), harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi pemasaran (marketing intangible), eksplorasi nexus baru berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan, dan aturan tentang pencegahan pembayaran penghasilan ke negara yang menerapkan tarif pajak yang rendah atau tidak ada tarif pajak sama sekali.
OECD menyatakan tiap negara dibebaskan memilih pilar tersebut, sambil menunggu skema pajak digital sampai selesai. Tetapi, OECD tidak menyasarankan melakukan aksi unilateral seperti Ingrris dan Perancis karena akan merusak tatanan global.
Baca Juga: Bank syariah dorong pembiayaan produktif
Meski demikian, Indonesia bukanlah negara anggota OECD. Beiar begitu, Yustinus menganggap rumusan OECD bisa menjadi rujukan Indonesia.
“Indonesia merupakan anggota G20 ada baiknya mempertimbangkan saran OECD. Tunggu keputusan OECD, sehingga landasan aturan kita berbasis kesepakatan internasional,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Selasa (17/9).
Yustinus mengatakan sambil menunggu aturan OECD rampung, pemerintah perlu mencari celah potensi penerimaan ekonomi digital. Dalam skema omnibus law menjelaskan supplyer collection digitan dapat ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penambahan Nilai (PPN).
Baca Juga: Catat, penyelenggara e-wallet dilarang invetasikan dana mengendap milik konsumen!
“Skema ini bisa dijalankan terlebih dahulu, nanti perusahaan digital terkait akan setor PPN ke Indonesia. Saya kira akan menjadi jalan tengah, penerimaan dapat tapi tidak mengganggu ekosistem,” kata Yustinus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News