Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah menargetkan penerimaan pajak naik setiap tahun. Pada 2019 proyeksi penerimaan pajak mencapai Rp 1.643,1 triliun. Sementara tahun depan kocek pajak ditargetkan sebesar Rp 1.861,8 triliun.
Proyeski penerimaan pajak terus melambung di tengah insentif pajak yang digelontorkan pemerintah sepeti tax allowance, tax holiday, superdeduction tax, dan lain sebagainya.
Baca Juga: Dorong industri UMKM, Rarali.com luncurkan inovasi teknologi bernama Octopus
Teranyar pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Salah satu pembahasan RUU tersebut adalah penurunan Pajak Penghasilan (PPh) Badan secara bertahap sampai menjadi 20% pada 2023.
Artinya, dari segambreng insentif pajak, ada potensi pajak yang tergerus. Untuk menyiasatinya pemerintah akan memperluas subjek dan objek pajak. Di antaranya dengan merambah ekonomi digital.
Staf Ahli Bidang Kebijakan Penerimaan Negara Kementerian Keuangan (Kemkeu) Robert Leonard Marbun mengatakan, pemerintah tengah mempersiapkan ekosistem ekonomi digital. Hal tersebut tertuang dalam peraturan dalam RUU poin pembahasan perpajakan atas perdagangan melalui sistem elektronik.
“Secara substansi perpajakan tidak ada perbedaan antara digital dengan konvensional. Dari sisi peraturan kita siapkan, supaya didorong agar ekonomi digital tumbuh,” kata Robert kepada Kontan.co.id, Selasa (17/9).
Robert menambahkan, untuk menghimpun data transaksi digital ekonomi Kemenkeu tengah berupaya menjalin kerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi. “Misalnya data terkait e-commmerce kami sering kerjasama dengan Kominfo,” kata Robert.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (Cita) Yustinus Prastowo mengatakan, saat ini pemerintah tengah terganjal model bisnis perusahaan Over The Top (OTP) yang mengandalkan physical present atau keberadaan badan usaha tetap (BUT) atau kantor perwakilan dalam bentuk fisik.
Menurutnya, definisi BUT dalam aturan saat ini belum mencakup realisasi bisnis OTP yang telah mengambil manfaat ekonomi tanpa physical present. Pemerintah pun berencana mengubah definisi BUT menjadi significant present yang dapat menjawab persoalan.
Baca Juga: Mulus, perundingan dagang AS-Jepang hampir rampung
Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) pun belum rampung membuat skema ekonomi digital. Namun, OECD menyarankan ada dua basis pilar pajak yang dapat diterapkan otoritas pajak.
Pilar pertama pertama akan memfokuskan pada dua hal, yaitu alokasi hak perpajakan dan kesepakatan terkait dengan realokasi hak perpajakan (nexus) dan penyelesaian masalah BEPS yang beredar dalam praktik.
Pilar kedua akan berisi empat proposal yang masing-masing memuat hal, yaitu kontribusi pengguna (users), harta tidak berwujud sehubungan dengan fungsi pemasaran (marketing intangible), eksplorasi nexus baru berdasarkan kehadiran ekonomi yang signifikan, dan aturan tentang pencegahan pembayaran penghasilan ke negara yang menerapkan tarif pajak yang rendah atau tidak ada tarif pajak sama sekali.
OECD menyatakan tiap negara dibebaskan memilih pilar tersebut, sambil menunggu skema pajak digital sampai selesai. Tetapi, OECD tidak menyasarankan melakukan aksi unilateral seperti Ingrris dan Perancis karena akan merusak tatanan global.
Baca Juga: Bank syariah dorong pembiayaan produktif
Meski demikian, Indonesia bukanlah negara anggota OECD. Beiar begitu, Yustinus menganggap rumusan OECD bisa menjadi rujukan Indonesia.
“Indonesia merupakan anggota G20 ada baiknya mempertimbangkan saran OECD. Tunggu keputusan OECD, sehingga landasan aturan kita berbasis kesepakatan internasional,” kata Yustinus kepada Kontan.co.id, Selasa (17/9).
Yustinus mengatakan sambil menunggu aturan OECD rampung, pemerintah perlu mencari celah potensi penerimaan ekonomi digital. Dalam skema omnibus law menjelaskan supplyer collection digitan dapat ditunjuk sebagai pemungut Pajak Penambahan Nilai (PPN).
Baca Juga: Catat, penyelenggara e-wallet dilarang invetasikan dana mengendap milik konsumen!
“Skema ini bisa dijalankan terlebih dahulu, nanti perusahaan digital terkait akan setor PPN ke Indonesia. Saya kira akan menjadi jalan tengah, penerimaan dapat tapi tidak mengganggu ekosistem,” kata Yustinus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News