Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 29% pada tahun 2030. Salah satu wacana yang dalam waktu dekat akan diterapkan adalah kebijakan penetapan harga karbon atau carbon pricing.
Staf khusus Kementerian Keuangan bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin menjelaskan, kebijakan harga karbon saat ini masih dalam tahap diskusi. Salah satu tujuan kebijakan ini untuk mengurangi emisi gas rumah kaca nasional.
"Pemerintah sedang menyiapkan regulasi kebijakan harga karbon di mana kami erat bekerja sama dengan kementerian KLHK dan lembaga lainnya," kata dia dalam acara virtual, Kamis (28/7).
Masyita menjelaskan, pada dasarnya terdapat dua instrumen harga karbon, yakni instrumen perdagangan dan instrumen non-perdagangan.
Baca Juga: Kata Mendag Lutfi soal rencana Uni Eropa terapkan Carbon Border Tax
Nantinya, pada instrumen perdagangan pun akan dibagi lagi menjadi dua jenis. Yakni sistem perdagangan emisi atau Emission Trading System (ETS) dan offset emisi yang menggunakan mekanisme kredit.
Pada sistem perdagangan emisi, memungkinkan suatu entitas membeli hak untuk melepas lebih banyak karbon dioksida dari negara yang memiliki emisi karbon lebih rendah. Pada jenis instrumen ini, menggunakan sistem cap and trade.
Sedangkan untuk offset emisi adalah mekanisme menjual kredit karbon tersebut ke entitas yang membutuhkan. "Kedua instrumen ini sebenarnya hampir sama, hanya saja pengaturan izin emisi di awal yang membuatnya berbeda. Nantinya akan ada di bawah peraturan yang baru," jelas Masyita.
Sementara itu untuk instrumen non-trade juga akan dibagi menjadi dua jenis. Pertama, pajak karbon (carbon tax) yang dikenakan pada entitas saat membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.
Kedua, Result Based Payment (RBP) atau disebut juga sebagai Pembayaran Berbasis Kinerja adalah insentif positif atau pembayaran yang diperoleh dari hasil capaian pengurangan emisi yang telah diverifikasi dan manfaat selain karbon.
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Laksmi Dhewanthi memaparkan, setiap kementerian akan memiliki fungsi dan peraturannya masing-masing berkiatan dengan implementasi harga karbon di Indonesia.
"Sesuai dengan peraturan presiden yang berdasarkan pada mandat dan fungsi dari masing-masing kementerian, Adapun pihak kementerian harus bisa berkoordinasi dan berkomunikasi dengan KLHK sebagai vocal point dan juga sektor terkait lainnya," jelasnya.
Lebih lanjut, Laksmi bilang, peraturan ini akan menentukan steering committee yang terbagi ke beberapa divisi. Laksmi memberikan gambaran, semisal untuk mengembangkan panduan untuk pencapaian emisi dan mekanisme harga karbon dan sistem monitoring ataupun pendaftaran, maka akan ada di vocal point nasional yakni KLHK.
Kemudian, untuk perpajakan akan dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Lalu untuk memastikan sistem perdagangan karbon akan dipegang Kementerian Perdagangan dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan.
Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Saleh Abdurrahman menambahkan, pemerintah akan mempercepat proses penyusunan regulasi terutama untuk pengeluaran carbon capture, bagaimana bisa menyeimbangkan antara peningkatan produksi migas dengan penurunan emisi.
Baca Juga: Pajak Karbon bisa memperburuk ekonomi
"Ini adalah salah satu agenda yang bersifat urgent dan diharapkan bisa selesai dalam waktu dekat," kata Saleh.
Sebagai informasi, saat ini terdapat beberapa penelitian yang berkaitan dengan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS) sedang dilakukan di Indonesia yaitu Proyek CCUS Gundih yang pada awalnya merupakan Proyek Carbon Capture Storage (CCS) dan telah dilakukan sejak 2012.
Perkembangan CCUS Gundih sangat penting bagi Indonesia untuk menambah pengalaman dalam pelaksanaan CO2-EOR/EGR. Studi untuk proyek ini masih berlangsung di bawah dukungan METI dan diharapkan memberikan hasil yang bagus.
Proyek dan studi CCUS lainnya adalah Tangguh EGR di Papua Barat, Sukowati di Jawa Timur, Limau Niru di Sumatra Selatan dan sebagainya. Bahkan, studi CCUS yang terhubung ke industri hilir akan segera dimulai, seperti bagaimana memisahkan CO2 dari pabrik amoniak di Sulawesi Tengah.
Selanjutnya: Menjelang pengumuman The Fed, begini proyeksi IHSG untuk Kamis
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News