Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan bahwa marketplace yang nantinya ditunjuk sebagai pemungut pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 hanya akan melakukan verifikasi berdasarkan surat pernyataan omzet dari pedagang online.
Mekanisme ini dinilai tidak mengubah sistem yang selama ini sudah berlaku dalam skema perpajakan.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli menjelaskan bahwa nantinya pedagang online yang ingin dibebaskan atau tidak dikenakan pajak hingga omzet Rp 500 juta, harus membuat surat pernyataan.
Surat pernyataan tersebut menyatakan bahwa omset pelaku usaha dalam setahun tidak melebihi Rp 500 juta.
Baca Juga: Marketplace Akan Tarik Pajak Pedagang Online, Berikut Ketentuannya
Jika memenuhi syarat, pelaku usaha juga bisa mendapatkan surat keterangan bebas dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempatnya terdaftar.
"Nanti dikirim ke marketplace. Itu dapat dari KPP tempat dia terdaftar. Jadi gak ada yang berubah," ujar Rosmauli di salah satu talkshow, dikutip Jumat (4/7).
Ia menjelaskan, dokumen tersebut akan digunakan oleh marketplace untuk menentukan apakah pedagang online tersebut akan dipungut atau tidaknya pajaknya.
"Itu yang dipakai, digunakan oleh marketplace untuk menentukan apakah merchant ini dipotong kalau dia lebih dari Rp 500 juta, 0,5% atau tidak," jelasnya.
Oleh karena itu, nantinya marketplace harus melakukan verifikasi terhadap dokumen tersebut untuk menentukan apakah merchant dikenai pemotongan pajak atau tidaknya.
"Pastinya. Tapi verifikasinya kan cuma dari surat pernyataan merchant," terang Rosmauli.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Perpajakan Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Daniel William Legawa khawatir apabila kenijakan ini mulai berlaku 1 Januari 2026 misalnya, maka hampir semua pedagang akan mengirimkan surat keterangan bebas pajak karena omzetnya diklaim di bawah Rp 500 juta.
Baca Juga: Penjual E-Commerce Bakal Kena Pajak, Begini Strategi TikTok
Ia menyoroti tantangan bagaimana platform bisa memastikan apakah pedagang sudah melebihi ambang batas omzet atau belum, mengingat perhitungan pajak berlaku untuk periode satu tahun penuh.
"Kalau misalnya tidak ada kepastian dari e-commerce, nanti akan terus enggak dipotong dong. Padahal mungkin saja homeseller sudah di atas Rp 500 juta," kata Daniel.
Daniel menilai, mekanisme verifikasi yang hanya mengandalkan surat pernyataan akan membuka celah pengindaran pajak.
Daniel juga memperingatkan adanya risiko pelarian pedagang dari marketplace ke platform yang belum terjangkau kebijakan pajak, seperti social commerce atau perdagangan via media sosial.
Jika pedagang online di marketplace dipungut PPh, tetapi media sosial tidak, maka pelaku usaha berpotensi menghindar dari sistem perpajakan resmi.
"Itu justru akan memperbesar shadow economy. Malah makin tidak terawasi," katanya.
Sebagai informasi, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) tengah merampungkan aturan terkait penunjukan marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi barang oleh pedagang online.
Ditjen Pajak memastikan aturan tersebut akan diumumkan secara terbuka dan transparan setelah resmi ditetapkan.
Dalam kebijakan ini, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) orang pribadi yang berjualan di marketplace akan dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5%.
Namun, pedagang online masih dapat bebas dari pungutan pajak tersebut apabila omzet mereka di bawah Rp 500 juta dalam satu tahun pajak.
Selanjutnya: Terkait Krisis Iran-Israel, Ini Strategi Pelayaran Nasional Ekalya Purnamasari (ELPI)
Menarik Dibaca: Tanda-Tanda Umum Kadar Kolesterol Tinggi dan Cara Mengatasinya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News