Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ekonomi digital terus berkembang pesat di Indonesia. Meski kontribusinya diproyeksi makin besar terhadap perekonomian nasional di tahun-tahun mendatang, pemerintah dihadapkan pada tantangan yang semakin rumit.
Direktur Industri, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Leonardo Teguh Sambodo mengatakan, tantangan pemerintah yang terbesar ialah merespons perubahan model bisnis yang berubah-ubah secara cepat dalam beberapa tahun terakhir.
Baca Juga: Ini era baru #MO, Rhenald Kasali beri lima pandangan agar PLN bisa berlari lagi
“Kita harus tahu seperti apa perubahannya agar tahu bagaimana menciptakan ekosistem yang memadai dan mengelola perkembangan ekonomi digital ini dengan baik untuk produsen maupun konsumen,” kata Teguh, Kamis (15/8).
Tantangan pengembangan ekonomi digital, menurut Teguh, cukup beragam. Di sektor e-commerce saja, misalnya, ada beberapa isu yang masih perlu menjadi perhatian pemerintah.
Disparitas akses internet antara kota-kota besar dan wilayah Timur Indonesia terbilang masih tinggi. Di Jakarta, rata-rata kecepatan internet mencapai 7 Mbps, sedangkan di Papua hanya 300 Kbps.
Dibandingkan dengan kecepatan internet global, Indonesia juga masih kalah. Rata-rata kecepatan internet Indonesia 4,5 Mbps, padahal global sudah mencapai 5,6 bps.
Direktur Smeru Research Institute Widjajanti Isdijoso menambahkan, akses internet Indonesia juga belum merata. “Di semua golongan masyarakat, akses internet memang meningkat terutama sejak 2010, dan makin meningkat lagi di 2014. Tapi, kesenjangan akses internet juga besar antara penduduk kota dan desa, penduduk kaya dan miskin, penduduk muda dan dewasa,” ujar Widjajanti.
Baca Juga: Ditjen Pajak sebut pajak ekonomi digital tidak hanya berlaku bagi market place
Selain itu, tantangan dari sisi SDM juga besar. Teguh mengatakan, pendidikan di Indonesia masih lebih banyak menghasilkan programmer kelas “hacker” ketimbang programmer yang dapat mendukung layanan jasa (internet of things), serta yang memahami manajemen dan bisnis.
Baca Juga: Walau Pasar Beda, Kompetisi Tetap Sengit
Begitu juga dengan tantangan logistik terkait masih terbatasnya konektivitas antara desa dan kota, tantangan perlindungan data pribadi dan keamanan siber, hingga tantangan terkait kebijakan fiskal untuk bisnis digital.
“Tantangan persiapan SDM juga terkait dengan potensi munculnya pekerjaan baru, maupun berkurangnya lapangan kerja akibat otomasi yang diperkirakan akan mencapai 51,8% dalam lima tahun ke depan,” kata Teguh.
Berdasarkan sektor, potensi otomasi bisa terjadi pada tenaga kerja nelayan, pekerja kerajinan, penjahit, operator mesin, las, dan pematerian, salesman, pedagang eceran, kasir, petugas tiket, hingga karyawan administrasi dan petugas gudang.
Di sisi lain, Bappenas mengutip hail kajian Google dan Temasek yang memproyeksi bahwa, kontribusi ekonomi digital akan mencapai 3,1% dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia atau US$ 3,6 miliar pada 2024.
Baca Juga: Analis: Startup Go-Jek dapat menjadi pemimpin transformasi revolusi industri 4.0
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News