Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Dunia kembali menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia, sejalan dengan proyeksi perlambatan ekonomi di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
Dalam laporan East Asia and Pacific Economic Update edisi Oktober 2019: Weathering Growing Risk yang dirilis hari ini, Kamis (10/10), Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia di akhir tahun ini hanya 5%.
Baca Juga: Bank Dunia: Asia Timur dan Pasifik akan tumbuh melambat sampai 2021
Sebelumnya Bank Dunia meramal pertumbuhan ekonomi mampu mencapai 5.2%.
Bank Dunia menilai, perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih dipengaruhi oleh kondisi eksternal yang tidak menguntungkan. Hal tersebut berdampak pada kinerja ekspor yang tertekan, ditambah dengan pertumbuhan investasi yang masih lambat.
Konsumsi rumah tangga diprediksi tumbuh 5,2%, konsumsi pemerintah 5,1%, PMTB (Investasi) tumbuh 5%, ekspor barang jasa tumbuh -1%, dan impor barang jasa tumbuh -3,5%.
Risiko penurunan (downside risk) terhadap outlook pertumbuhan tersebut, menurut Bank Dunia, juga makin besar di tengah ketidakpastian global.
Baca Juga: Bank Dunia: Pertumbuhan Asia Pasifik akan melambat jadi 5,8% akibat perang dagang
“Eskalasi ketegangan dagang yang berlanjut dapat membebani pertumbuhan kawasan dan harga komoditas. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan neraca transaksi berjalan pun akan ikut tertekan sejalan dengan penerimaan ekspor yang melemah,” terang Bank Dunia.
Di tengah kinerja ekspor yang lemah, Bank Dunia menilai pemerintah sudah tidak dapat menekan laju impor lebih dalam lagi sebab akan berdampak pada pertumbuhan. Pasalnya, impor Indonesia didominasi oleh barang-barang yang menyokong investasi seperti barang modal dan bahan baku.
Risiko lainnya menurut Bank Dunia ialah pelemahan nilai tukar emerging market termasuk Indonesia. Depresiasi rupiah berpotensi kembali terjadi seiring dengan upaya rebalancing portofolio oleh para investor menuju aset yang aman (safe-haven), seperti obligasi pemerintah AS (US Treasury).
Baca Juga: BI: Kegiatan usaha pada Q3-2019 menunjukkan perlambatan meski tetap tumbuh positif
Lebih lanjut, hal tersebut dapat mendorong imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dan konsekuensi biaya pinjam proses an yang lebih tinggi. Ini dapat mengurangi proses pemulihan kredit dan semakin membebani investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi.
Adapun, di samping masalah pertumbuhan, Bank Dunia juga menyoroti tantangan pemerintah Indonesia dalam mengurangi kesenjangan antardaerah.
Lembaga tersebut mencatat sepanjang periode Maret 2018-Maret 2019, ada 28 provinsi yang berhasil mengurangi jumlah orang miskin, sementara 6 provinsi lain mengalami kenaikan orang miskin.
“Namun wilayah Timur Indonesia mengalami hambatan signifikan. Saat Jakarta memiliki tingkat kemiskinan terendah 3,5%, Papua justru tertinggi yaitu 27,5%,” tulis Bank Dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News