Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
Di tengah kinerja ekspor yang lemah, Bank Dunia menilai pemerintah sudah tidak dapat menekan laju impor lebih dalam lagi sebab akan berdampak pada pertumbuhan. Pasalnya, impor Indonesia didominasi oleh barang-barang yang menyokong investasi seperti barang modal dan bahan baku.
Risiko lainnya menurut Bank Dunia ialah pelemahan nilai tukar emerging market termasuk Indonesia. Depresiasi rupiah berpotensi kembali terjadi seiring dengan upaya rebalancing portofolio oleh para investor menuju aset yang aman (safe-haven), seperti obligasi pemerintah AS (US Treasury).
Baca Juga: BI: Kegiatan usaha pada Q3-2019 menunjukkan perlambatan meski tetap tumbuh positif
Lebih lanjut, hal tersebut dapat mendorong imbal hasil obligasi yang lebih tinggi dan konsekuensi biaya pinjam proses an yang lebih tinggi. Ini dapat mengurangi proses pemulihan kredit dan semakin membebani investasi swasta dan pertumbuhan ekonomi.
Adapun, di samping masalah pertumbuhan, Bank Dunia juga menyoroti tantangan pemerintah Indonesia dalam mengurangi kesenjangan antardaerah.
Lembaga tersebut mencatat sepanjang periode Maret 2018-Maret 2019, ada 28 provinsi yang berhasil mengurangi jumlah orang miskin, sementara 6 provinsi lain mengalami kenaikan orang miskin.
“Namun wilayah Timur Indonesia mengalami hambatan signifikan. Saat Jakarta memiliki tingkat kemiskinan terendah 3,5%, Papua justru tertinggi yaitu 27,5%,” tulis Bank Dunia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News