Reporter: Bidara Pink | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKATRA. Invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan harga energi dan pangan melejit. Peningkatan harga energi dan pangan pun terlihat di banyak negara, termasuk Indonesia.
Dalam laporan East Asia and The Pasific Economic Update edisi Oktober 2022, Bank Dunia melihat tren peningkatan harga pangan menjadi kontributor utama peningkatan inflasi di Indonesia. Dari Januari hingga Agustus 2022 pun, inflasi pangan bergejolak sudah tercatat 6,08% sejak awal tahun (YtD).
Meski harga pangan naik cukup signifikan, harga energi di Indonesia masih bisa dijaga jauh dari harga keekonomian. Dengan demikian, inflasi dari energi pada beberapa waktu lalu masih belum mencuat. Bank Dunia melihat, kunci peredam inflasi energi di Indonesia adalah subsidi energi.
Baca Juga: Bank Dunia: Bila Subsidi Energi Beralih ke Transfer Tunai RI Hemat Rp 107 Triliun
Tentu, menggelontorkan subsidi energi bukan perkara yang murah. Bahkan, nominal yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk memberi subsidi dan kompensasi energi pada tahun ini mencapai Rp 502 triliun, atau membengkak dari pagu awal yang sebesar Rp 152 triliun.
Meski mahal, pemerintah Indonesia masih mampu memberi subsidi dan kompensasi energi. Bank Dunia mengatakan, ini karena Indonesia negara eksportir komoditas.
Ya, di tengah pengeluaran yang membengkak, pendapatan Indonesia pun tambah tambun. Peningkatan harga komoditas unggulan ekspor Indonesia seperti batubara, minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO), nikel, dan lain-lain bisa mengisi pundi-pundi negara yang terkuras.
Sebenarnya tak hanya Indonesia yang bisa menekan harga energi di dalam negeri. Malaysia pun dinilai mampu memberikan subsidi energi karena berkah peningkatan harga komoditas ekspor andalannya.
Baca Juga: BI Prediksi Perkirakan Ekonomi RI Bisa Tumbuh 5,5% pada Kuartal III
Namun, Bank Dunia tetap mewanti-wanti agar negara-negara berkembang tetap waspada. Pasalnya, meski peningkatan inflasi dalam negeri tetap terkendali, tetapi naiknya inflasi di level global memicu peningkatan suku bunga acuan.
Pengetatan kebijakan moneter ini bisa menimbulkan kekhawatiran yang lebih luas, seperti kerentanan keuangan dan keberlanjutan pemulihan di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Belum lagi terkait aliran modal asing yang hengkang dari pasar keuangan negara berkembang, bisa menyebabkan depresiasi mata uang. Depresiasi mata uang ini juga kemudian menimbulkan masalah inflasi, yaitu naiknya imported inflation.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News