Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mempertegas sanksi denda maupun administratif bagi eksportir sumber daya alam (SDA) yang melanggar ketentuan menyimpan devisa hasil ekspor (DHE) di sistem keuangan dalam negeri.
Penegasan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 98 Tahun 2019 yang mulai berlaku efektif sejak 1 Juli lalu.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia mengatakan, peraturan pemerintah yang mewajibkan eksportir untuk menempatkan DHE di dalam negeri bukan hal baru, begitu pula dengan penerapan sanksi.
“Hanya saja sekarang memang lebih ketat sanksinya. Artinya, bagi perusahaan-perusahaan yang selama ini belum comply (patuh) akan makin terbebani,” ujar Hendra kepada Kontan.co.id, Kamis (4/7).
Di sektor pertambangan, menurutnya, kepatuhan menempatkan DHE masih rendah di kalangan perusahaan skala menengah kecil, baik dari skala produksi maupun ekspor hasil tambangnya.
Sementara, perusahaan eksportir berskala besar umumnya sudah lebih patuh, bahkan sejak aturan dan sanksi pemerintah diperketat seperti saat ini.
“Ya biasanya yang sulit comply itu perusahaan yang lebih kecil-kecil. Yang kira-kira kalau ditotal porsi ekspornya hanya sekitar 10% dari keseluruhan ekspor batubara, misalnya,” lanjut dia.
Hendra mengatakan, sulitnya mematuhi aturan penempatan DHE di dalam negeri lantaran banyak perusahaan eksportir pertambangan yang masih bergantung pada pendanaan (financing) dari luar negeri. Dengan begitu, banyak pula perusahaan yang masih harus menempatkan escrow account-nya di perbankan luar negeri.
“Financing ini sulit di dalam negeri. Kredit yang disalurkan ke sektor pertambangan termasuk sangat rendah sehingga mau tidak mau mereka (perusahaan) cari financing ke luar. Di luar negeri pun sebenarnya akses makin sedikit karena beberapa negara juga sudah mulai enggan memberi kredit ke sektor pertambangan, apalagi batubara,” tutur Hendra.
Menurut data Bank Indonesia (BI), penyaluran kredit perbankan kepada sektor swasta domestik untuk pertambangan dan penggalian per Mei 2019 sebesar masing-masing Rp 58,6 triliun untuk kredit investasi dan Rp 70 triliun untuk kredit modal kerja. Nominal tersebut merupakan yang terkecil jika dibandingkan sektor usaha lainnya.
Hendra berharap, pemerintah tak hanya sekadar meningkatkan kepatuhan dengan peraturan dan sanksi, maupun memberi insentif pajak deposito, tetapi juga mendorong perbankan domestik untuk menyediakan pembiayaan yang memadai. “Dukungan financing perbankan nasional sangat dibutuhkan,” katanya.
Senada, Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal menilai, belum memadainya ekosistem pembiayaan untuk pengusaha eksportir menjadi salah satu penyebab utama masih banyaknya DHE yang terparkir di luar negeri.
Sebelum menerapkan aturan dan sanksi yang lebih ketat, menurut Fithra pemerintah mestinya terlebih dahulu memastikan ekosistem usaha termasuk pembiayaan untuk para eksportir sudah cukup mendukung.
“Perbankan kita agak reluctant kepada eksportir, teurtama yang menengah ke bawah, karena menghindari risiko. LPEI sebagai lembaga pemerintah juga perannya tidak signifikan. Tidak heran yang ’menampung’ jadinya perbankan asing,” ujar Fithra kepada Kontan.co.id.
Fithra berpendapat, seberapa pun ketatnya penerapan sanksi oleh pemerintah, kepatuhan akan tetap sulit meningkat apabila kebutuhan pembiayaan belum dapat terpenuhi di dalam negeri.
Namun di sisi lain, Fithra mengapresiasi upaya pemerintah membuat aturan dan sanksi yang spesifik melalui PMK 98/2019.
“Secara best practice, ini sudah baik karena di negara-negara lain seperti Vietnam dan Thailand juga sanksi itu jelas. Tapi kembali lagi harus di lihat apa akar permasalahannya dan diselesaikan di situ,” tandas FIthra.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News