Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
4. Pansus Hak Angket KPK
Panitia Khusus Hak Angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa jadi merupakan kerja DPR yang paling banyak disoroti.
Usulan hak angket dimulai dari protes yang dilayangkan sejumlah anggota Komisi III kepada KPK terkait persidangan kasus dugaan korupsi proyek e-KTP di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Alasannya, dalam persidangan disebutkan bahwa politisi Partai Hanura Miryam S Haryani mendapat tekanan dari sejumlah anggota Komisi III.
Komisi III mendesak KPK membuka rekaman pemeriksaan terhadap Miryam, yang kini menjadi tersangka pemberian keterangan palsu dalam kasus dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
Sejumlah pihak sempat menduga adanya konflik kepentingan di balik pembentukan pansus. Pasalnya, sejumlah anggota dewan diduga ikut terlibat dalam proyek e-KTP. Termasuk Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunanjdar Sudarsa. Namun, tudingan tersebut langsung ditepis Agun.
Pada perjalanannya, kerja pansus semakin meluas. Berbagai wacana sempat diutarakan oleh anggotanya. Sebut saja usulan dari Anggota Pansus, Mukhamad Misbakhun agar pembahasan anggaran RAPBN 2018 Kepolisian dan KPK tidak perlu dilakukan, jika Miryam tidak dihadirkan ke Pansus Angket KPK.
Implikasi dari tidak dibahasnya anggaran RAPBN 2018, kata dia, adalah anggaran terhadap dua institusi tersebut di 2018 tertahan.
Anggota pansus lainnya, Henry Yosodiningrat bahkan sempat melontarkan wacana pembekuan KPK untuk sementara waktu.
Politisi PDI Perjuangan itu menilai, dari hasil penyelidikan panitia angket, ada banyak hal di KPK yang harus dibenahi dan pembenahan ini butuh waktu lama.
"Maka, jika perlu, untuk sementara KPK distop dulu. Kembalikan (wewenang memberantas korupsi) kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung dulu," kata Henry beberapa waktu silam.
Wacana tersebut turut didukung oleh Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah sebagai salah satu pengusul hak angket.
Rencana memanggil paksa KPK juga sempat beberapa kali dilontarkan oleh anggota pansus jika KPK tak hadir untuk mengklarifikasi temuan pansus.
Namun, belakangan kerja pansus semakin meredup dan tak terlihat kejelasannya. Bahkan, Partai Golkar sebagai salah satu pengusul membuka kemungkinan menarik diri wakilnya dari pansus jika pansus tak segera mengakhiri masa kerjanya pada masa sidang DPR berikutnya.
5. Drama mundurnya Setya Novanto
Masa sidang terakhir DPR di 2017 diwarnai oleh mundurnya Ketua DPR RI Setya Novanto. Langkah tersebut diambil Novanto karena dirinya kini berstatus terdakwa dan ditahan di Rumah Tahanan KPK karena kasus korupsi proyek e-KTP.
Dalam surat yang disampaikannya melalui Fraksi Partai Golkar, Novanto sekaligus menunjuk Aziz Syamsuddin sebagai penggantinya. Namun, hal itu belum disetujui.
Mundurnya Novanto merupakan ujung dari drama politik yang melibatkannya.
Meski kasus tersebut cenderung menyasar pribadi Novanto, namun jabatannya sebagai Ketua DPR membuat dampak kasus tersebut juga berimbas pada DPR secara kelembagaan.
Terlebih, ditangkapnya Novanto oleh KPK sempat melalui drama kejar-kejaran dalam beberapa hari terakhir.
Novanto beberapa kali mangkir pemeriksaan KPK, baik dalam kapasitasnya sebagai saksi bagi tersangka lain maupun sebagai tersangka.
KPK pun menyambangi kediaman Novanto di Jalan Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada 15 November 2017 malam. Namun Novanto tak ada di kediamannya.
Ia bahkan sempat menghilang dan sejumlah kerabatnya menyatakan tidak mengetahui keberadaan Novanto.
Keberadaan Novanto akhirnya diketahui besok malamnya. Ia mengalami kecelakaan saat menuju ke Metro TV. Pada malam yang sama ia berencana menyerahkan diri ke kantor KPK.
Novanto sempat dirawat di RS Medika Permata Hijau sebelum akhirnya dipindahkan ke RSCM sebelum kemudian resmi menjadi tahanan KPK. (Nabilla Tashandra)
Artikel ini sudah tayang di Kompas.com, berjudul: 5 Drama Politik di DPR Sepanjang 2017
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News