Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ancaman resesi ekonomi Amerika Serikat diperkirakan terjadi pada paruh kedua tahun ini akibat perang tarif resiprokal. Meskipun keteganan mereda sementara karena penundaan tarif 90 hari oleh Presiden AS Donal Trump.
Kabar buruknya, jika resesi AS benar terjadi, maka secara tidak langsung akan mempengaruhi perekonomian Indonesia tahun ini, mengingat dampak hubungan dagang AS-Indonesia.
Sebelumnya JP Morgan memproyeksikan probabilitas resesi ekonomi AS sebesar 60% pada tahun 2025, namun baru-baru ini JP Morgan menurunkan probabilitasnya ke bawah 50% akibat perkembangan kebijakan perdagangan terbaru, termasuk penurunan tarif sementara antara AS dan China.
Di sisi lain, Goldman Sachs pada April 2025 juga telah menaikkan kemungkinan resesi AS menjadi 45% dalam 12 bulan ke depan. Proyeksi ini sejalan dengan kekhawatiran perang dagang mencengkeram pasar setelah tarif impor besar-besaran dari Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: Waspada! Gara-Gara Tarif Trump, Risiko Resesi Ekonomi AS dan Global Makin Meningkat
Bank Indonesia (BI) sendiri telah merevisi pertumbuhan ekonomi Indonesia turun di rentang 4,6%-5,4% pada tahun 2025. Sejalan dengan itu BI Rate juga dipangkas 25 bps turun ke level 5,50% pada RDG BI di Mei 2025.
Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Muhammad Rizal Taufikurahman, memperingatkan bahwa potensi resesi di AS pada paruh kedua tahun 2025 tidak bisa dipandang sebelah mata oleh Indonesia.
Menurutnya, jika skenario tersebut terjadi, dampaknya akan terasa signifikan, terutama melalui jalur ekspor dan sektor keuangan.
“Penurunan permintaan global akan memukul ekspor, khususnya produk manufaktur dan komoditas yang selama ini menjadi andalan Indonesia,” ujar Rizal kepada Kontan, Senin (26/5).
Ia menambahkan bahwa tekanan yang lebih perlu diwaspadai adalah dari sisi keuangan, yakni potensi terjadinya capital outflow yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah. Hal ini berpotensi meningkatkan beban biaya impor, hingga menekan daya beli masyarakat.
Baca Juga: Perang Dagang Dimulai, Ekonomi Dunia Diambang Resesi
Meski ekonomi domestik dinilai cukup resilien, Rizal menekankan bahwa ketergantungan terhadap faktor eksternal belum sepenuhnya terputus. “Ini bisa menjadi titik rawan dalam menjaga stabilitas makroekonomi kita,” jelasnya.
Ditambah lagi revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia oleh BI menjadi 4,6%–5,4% tahun ini, menurutnya menjadi sinyal bahwa ada masalah struktural yang belum terselesaikan.
Ia menilai bahwa pemangkasan suku bunga acuan hanya menjadi solusi jangka pendek, sementara tantangan utamanya adalah stagnasi produktivitas sektoral, lemahnya daya beli, dan investasi swasta yang masih cenderung menunggu dan melihat situasi.
“Tekanan global dari ketidakpastian geopolitik dan tingginya suku bunga global juga belum mereda,” imbuh Rizal.
Sementara itu, Ekonom Citi Group alias Citibank N.A memprediksi kemungkinan terjadinya kontraksi pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) pada semester II 2025, meskipun tidak memperkirakan akan terjadi resesi secara menyeluruh.
Baca Juga: Ini Ramalan Ekonomi AS di 2025 Setelah Trump Menjadi Presiden, Baik atau Buruk?
Chief Economist Citi Indonesia, Helmi Arman, menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi AS tersebut bisa berdampak terhadap kinerja ekspor Indonesia, terutama pada komoditas yang belakangan mengalami peningkatan permintaan, seperti tekstil dan garmen.
“Lagi-lagi tekstil dan garment yang terdampak. Belakangan ini memang ada peningkatan pengiriman ke Amerika. Tapi dampaknya ke Indonesia seharusnya tidak sebesar negara-negara lain di ASEAN,” ujar Helmi dalam konferensi pers Citi Indonesia yang digelar di Jakarta, Senin (26/5).
Selain itu, Helmi menyoroti fenomena front loading atau percepatan pengiriman dalam rantai pasok barang elektronik dan produk semikonduktor, terutama di negara-negara ASEAN dan Timur Tengah yang melonjak pada April lalu seiring meningkatnya permintaan dari Negeri Paman Sam.
“Front loading yang tinggi ini bisa menimbulkan penurunan ekspor yang lebih dalam setelah fase percepatan berakhir,” jelas Helmi.
Menurutnya, meski Indonesia terlibat dalam rantai pasok elektronik global, dampaknya diperkirakan masih lebih ringan dibanding negara-negara dengan eksposur yang lebih besar terhadap pasar AS.
Selanjutnya: Pemerintah Lelang Wilayah Kerja Panas Bumi, Begini Rekomendasi Saham PGEO dan BREN
Menarik Dibaca: Koleksi Anak Summer 2025 Tampil di Perayaan 16 Tahun Grand Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News