Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bright Institute menyoroti kondisi kelaparan dan kecukupan gizi Indonesia yang terabaikan di balik ambisi pemerintah untuk mencapai swasembada pangan.
Ekonom Senior Bright Institute Awalil Rizky menilai swasembada pangan yang ingin dicapai Presiden Prabowo Subianto dalam empat hingga lima tahun mendatang tidak akan cukup menyentuh permasalahan kelaparan di Indonesia.
Hal itu tercermin dari 60% penduduk Indonesia saat ini konsumsi makanannya masih belum memenuhi kecukupan gizi.
Baca Juga: Program Makan Bergizi Gratis, Kebutuhan Cadangan Beras Pemerintah Bakal Bertambah?
"Kalau kita lihat dari data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional), hanya penduduk pada kuintil 4 dan 5 pendapatan teratas yang memenuhi angka kecukupan gizi (AKG) energi harian atau hanya sekitar 60% penduduk Indonesia saat ini dan ini kondisinya secara umum lebih buruk dibanding 2019," jelas Awalil dalam Webinar, Selasa (5/11).
Awalil juga menyoroti kondisi kelaparan ini dari data Global Hunger Index (GHI) terakhir. Berdasarkan data tersebut, Indonesia berada di bawah rata-rata dunia yakni di posisi 77 dari 127 negara. Jika dilihat di Asia Tenggara, Indonesia lebih buruk dari Thailand, Vietnam, Malaysia, Filipina, Kamboja, dan Myanmar.
"Indeks kelaparan Indonesia hanya lebih baik dari Timor Leste dan Laos," ujarnya.
Menurut Awalil, yang paling perlu diperhatikan dalam indeks GHI ini adalah komponen Prevalence of Undernourishment atau Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan yang diambil dari data BPS. Prevalensi ini pada 2023 mencapai sebesar 8,53%, lebih buruk dari 2017—2021, dan tidak mencapai target RPJMN di 5,2%.
Baca Juga: Program Makan Berigizi Prabowo-Gibran Dinilai Tidak untuk Seluruh Balita dan Siswa
Awalil juga menjelaskan dalam melihat data atau Prevalensi Ketidakcukupan Konsumsi Pangan di Indonesia, kesenjangan nilai prevalensi ini masih sangat tinggi di antar provinsi serta kabupaten maupun kota.