Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli
Di sisi lain, wacana intervensi pemerintah untuk mengatasi masalah kelangkaan peti kemas tersebut dinilai kurang efektif apabila menggunakan insentif karena memerlukan biaya besar.
Pasalnya, Yukki menjelaskan kondisi semacam ini secara alami akan normal lagi pada saat perdagangan dunia sudah pulih kembali sesuai mekanisme pasar.
Kemudian, mahalnya angkutan untuk international shipment atau incompetitiveness angkutan dari dan ke Indonesia, cenderung dipengaruhi perilaku industri dan perdagangan Indonesia. Dimana importasinya adalah heavy cargo yang menggunakan peti kemas berukuran 20 feet, sementara untuk ekspor umumnya menggunakan peti kemas 40 feet seperti pada pengapalan komoditi alas kaki, elektronik dan furniture.
Baca Juga: Permudah petani dapat akses listrik, PLN gaet Bank Mandiri
"Sehingga setiap kali kegiatan impor harus merepo atau mengembalikan dan mengambil ke depo peti kemas 20 feet dan untuk keperluan ekspor harus mendatangkan peti kemas kosong 40 feet yang semuanya diperhitungkan dalam tatif angkut atau freight," jelasnya.
Namun, dibalik semua tantangan dan persoalan yang dihadapi sektor logistik ditahun ini, Pria yang juga sebagai Chairman Asean Federation of Forwarders Association (AFFA) tersebut menilai dapat jadi modal motivasi bagi pelaku usaha di sektor logistik di tahun 2021 mendatang.
"Oleh karenanya kita harus optimistis dan berusaha sekuat tenaga secara bersama-sama agar pertumbuhan ekonomi di Indonesia mampu kembali bangkit pada tahun 2021," ujar Yukki.
Selanjutnya: Dorong pariwisata nasional, masyarakat kelas menengah diimbau berwisata di domestik
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News