Reporter: Adi Wikanto | Editor: Adi Wikanto
KONTAN.CO.ID - Jakarta. Formula penghitungan kenaikan upah minimum tahun 2026 telah ditetapkan. Formula tersebut sama seperti tahun sebelumnya, tapi besaran Alfa atau indeks tertentu diperbesar. Peningkatan indeks tertentu diyakini menjadi bukti keberpihakan pemerintah terhadap buruh.
Diberitakan Kompas.com, Presiden Prabowo Subianto resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pengupahan yang mengatur formula kenaikan upah minimum, mulai dari upah minimum provinsi (UMP) hingga upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK).
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli menjelaskan, sebelum menetapkan aturan tersebut, Presiden Prabowo telah mempertimbangkan berbagai aspirasi dari banyak pihak, terutama serikat buruh. Hasilnya, pemerintah menetapkan rumus baru dalam penentuan kenaikan upah minimum sebagai berikut:
Formula kenaikan upah sebesar= Inflasi + (Pertumbuhan Ekonomi x Alfa)
Rentang Alfa sebesar 0,5–0,9. Angka itu jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya hanya 0,1%-0,3%.
Baca Juga: Pemerataan Layanan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Genjot Fasilitas Diagnostik
Adapun alfa merupakan indeks tertentu yang merepresentasikan kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Dengan adanya variabel ini, besaran kenaikan upah minimum di setiap daerah dipastikan tidak seragam, melainkan disesuaikan dengan kondisi ekonomi masing-masing wilayah.
Selanjutnya, perhitungan kenaikan upah minimum menjadi kewenangan Dewan Pengupahan Daerah. Dewan ini akan menghitung besaran kenaikan berdasarkan formula yang telah ditetapkan, kemudian menyampaikannya kepada gubernur sebagai rekomendasi.
Dalam PP tersebut juga ditegaskan bahwa gubernur wajib menetapkan besaran UMP dan dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Selain itu, gubernur juga diwajibkan menetapkan upah minimum sektoral provinsi (UMSP) serta memiliki kewenangan untuk menetapkan upah minimum sektoral kabupaten/kota (UMSK).
Khusus untuk penetapan upah minimum tahun 2026, Yassierli menyebut gubernur harus menetapkan besaran kenaikan upah paling lambat pada 24 Desember 2025. Setelah ditetapkan, hasilnya wajib diumumkan kepada publik sebagai bentuk transparansi kebijakan pengupahan.
Tonton: Pengusaha Batubara Ingatkan Risiko Kemitraan Tambang Ilegal terhadap Kepastian Hukum
Harus Berdampak Positif untuk Buruh
GREAT Institute mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang meningkatkan besaran Alfa dalam formula kenaikan upah minimum tahun 2026. Hal ini berarti pemerintah memperbesar porsi kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi.
Namun, apresiasi tersebut disertai dengan catatan kritis agar formulasi baru ini benar-benar berdampak riil pada daya beli masyarakat.
Direktur Eksekutif GREAT Institute, Dr. Sudarto, menyambut baik perluasan indeks alfa ini namun menegaskan bahwa variabel teknis saja tidak cukup. Ia menuntut agar hasil akhir persentase kenaikan upah tidak boleh lebih rendah dari tahun sebelumnya demi menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
"GREAT Institute menyarankan agar Pemerintah menjamin bahwa output akhir dari formula ini menghasilkan kenaikan UMP 2026 minimal setara atau bahkan lebih tinggi dari tahun lalu,” tegas Sudarto.
Di sisi lain, Peneliti Ekonomi GREAT Institute, Adrian Nalendra Perwira, memberikan pandangan mengenai implikasi ekonomi dari penetapan indeks alfa 0,5–0,9. Menurutnya, rentang ini secara ekonomi logis untuk memperbaiki struktur ketimpangan pendapatan, namun harus dikelola dengan prinsip kehati-hatian (prudent).
“Secara fundamental ekonomi, kenaikan alfa menjadi 0,5–0,9 adalah koreksi yang wajar untuk mencerminkan kontribusi riil tenaga kerja terhadap PDB yang selama ini kurang terwakili oleh alfa 0,1–0,3. Dengan alfa yang lebih tinggi, transmisi pertumbuhan ekonomi ke pendapatan rumah tangga akan lebih cepat, yang pada gilirannya akan mendongkrak konsumsi agregat rumah tangga sebagai mesin utama ekonomi kita,” jelas Adrian.
Baca Juga: Danantara Menghadapi Tantangan Tata Kelola dan Investasi, Begini Solusinya
Namun, Adrian mengingatkan bahwa kenaikan upah nominal harus diimbangi dengan peningkatan sisi penawaran, yakni produktivitas tenaga kerja, agar tidak menimbulkan guncangan pada biaya produksi industri yang berlebihan.
“Pemerintah Daerah harus bijak menggunakan rentang 0,5 sampai 0,9 ini sesuai kondisi riil daerahnya. Penetapan upah yang bertanggung jawab adalah yang menyeimbangkan kesejahteraan pekerja dengan keberlangsungan usaha. Kenaikan upah yang signifikan idealnya diiringi dengan insentif peningkatan produktivitas dan efisiensi logistik bagi dunia usaha, sehingga kenaikan biaya tenaga kerja tidak lantas memicu inflasi sisi penawaran (cost-push inflation) yang justru akan memakan kembali kenaikan upah tersebut,” tukas Adrian.
“Pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga inflasi dan meringankan biaya hidup, sehingga kenaikan upah nominal benar-benar berdampak pada daya beli riil dan tidak habis tergerus harga barang,” ujar Adrian.
Lebih lanjut, Adrian mengingatkan Pemerintah untuk menciptakan iklim usaha yang sehat agar perusahaan mampu membayar kenaikan upah tersebut tanpa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Pemerintah juga harus fair. Jangan menuntut swasta menaikkan upah tinggi, tapi di sisi lain pemerintah terus menambah beban swasta dengan berbagai pungutan baru. Jika ingin upah naik dan ekonomi tumbuh 8 persen, kurangi pungutan-pungutan yang membebani biaya produksi,” terang Adrian
.
Selanjutnya: Profil Lengkap Lip-Bu Tan, CEO Intel dengan Kekayaan Miliaran Dolar
Menarik Dibaca: Intip Jadwal KRL Solo-Jogja pada Akhir Pekan 20-21 Desember 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













