kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.198.000   7.000   0,32%
  • USD/IDR 16.704   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.123   23,91   0,30%
  • KOMPAS100 1.123   -0,15   -0,01%
  • LQ45 802   -0,17   -0,02%
  • ISSI 282   -0,15   -0,05%
  • IDX30 421   -0,29   -0,07%
  • IDXHIDIV20 479   -0,99   -0,21%
  • IDX80 124   0,62   0,50%
  • IDXV30 134   -0,24   -0,18%
  • IDXQ30 132   -0,41   -0,31%

Aktivis Lingkungan Menolak Perpajangan Kontrak KPC, Berikut Alasannya


Jumat, 17 Desember 2021 / 12:35 WIB
Aktivis Lingkungan Menolak Perpajangan Kontrak KPC, Berikut Alasannya
ILUSTRASI. Stasiun pengumpul batu bara milik PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Sangatta, Kalimantan Timur. KONTAN/Cheppy A. Muchlis


Reporter: Asnil Bambani Amri | Editor: Asnil Amri

KONTAN.CO.ID - Gerakan #BersihkanIndonesia, Trend Asia, ENTER Nusantara bersama JATAM Nasional dan JATAM Kalimantan Timur menolak rencana perpanjangan kontrak pertambangan batubara PT Kaltim Prima Coal (KPC) di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Anak perusahaan Bakrie Group tersebut diminta harus melakukan audit secara menyeluruh dengan alasan memiliki catatan buruk terhadap lingkungan dan kriminalisasi masyarakat.

Penolakan ini disampaikan melalui aksi kreatif di Jakarta dengan membentangkan poster dan spanduk di antaranya berisi pesan “39 Tahun Merusak Bumi dan Warga, Tolak Perpanjangan Kontrak PT Kaltim Prima Coal.” Tak hanya itu, kelompok masyarakat sipil tersebut juga mendesak audit dan evaluasi terhadap kehadiran KPC Selama 39 tahun di Kalimantan Timur.

“Kejahatan sosial-ekologi yang sudah dilakukan KPC selama hampir empat dekade di Kutai Timur seharusnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk tidak lagi memperpanjang kontrak maupun izin operasi KPC. Tidak cukup hanya itu, negara harus melakukan audit kerugian sosial dan lingkungan. Pemerintah dan KPC juga harus bertanggungjawab memulihkan kerusakan lingkungan di Kutai Timur akibat operasi pertambangan KPC selama ini,” kata Ki Bagus Hadi Kusuma, pengkampanye #BersihkanIndonesia dari JATAM Nasional.

Baca Juga: Tahun 2021, Menteri LHK pastikan program berbasis masyarakat tetap berjalan

Catatan JATAM mengungkap, jejak buruk KPC selama 39 tahun beroperasi di Kalimantan Timur, di antaranya, menghancurkan bentang alam, merusak sumber air, merampas tanah, menggusur lahan dan kriminalisasi masyarakat adat. KPC juga meninggalkan 71 lubang tambang, menyembunyikan informasi publik, menyebabkan bencana dan juga tindak pidana korupsi.

Pada tahun 2015, KPC disebutkan telah melakukan pencemaran pada Sungai Bendili yang menyebabkan perusahaan air minum daerah mengurangi produksi air bersihnya. KPC didenda Rp11,39 miliar. Selain itu, operasi pertambangan ini mengakibatkan kerusakan dan banjir pada Daerah Aliran Sungai Bengalon dan Sangatta.

Krisis air bersih juga mendera 50 keluarga di Desa Keraitan sepanjang tahun 2012-2014 akibat pencemaran Sungai Keraitan oleh KPC. Masyarakat Dayak Basap di desa ini disingkirkan dengan cara pelanggaran hak asasi manusia ke desa buatan, Desa Keraitan Bar. Pada 12 Februari 2016, warga Desa Sepaso Selatan yakni ibu Dahlia, Nursal dan Nursiah yang menolak tanahnya dirampas mendapatkan tindak kekerasan dari perusahaan ini.

Baca Juga: ESDM menjawab tudingan aktivitas pertambangan biang keladi banjir Kalimantan Selatan

Kasus korupsi divestasi saham perusahaan ini pada tahun 2010 hingga 2013 telah menyeret petinggi perusahaan dan Gubernur Kalimantan Timur saat itu dengan potensi kerugian negara mencapai Rp792 miliar.

“Kekerasan dan Korupsi adalah dua cara yang melekat dan dipraktikan oleh KPC selama 39 tahun membongkar isi bumi Kaltim. Menggusur paksa, kriminalisasi, intimidasi, suap petugas pajak hingga ngemplang membayar pajak adalah daftar kejahatan yang cukup untuk pemerintah menolak perpanjangan kontrak KPC,” kata Pradarma Rupang, Dinamisator JATAM Kalimantan Timur.

Pada November 2020 lalu, pemerintah telah memberikan perpanjangan otomatis tanpa pengawasan dan partisipasi publik kepada PT Arutmin. Perpanjangan otomatis diberikan pasca pengesahan revisi UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Di antara insentif tersebut, yakni dijaminnya perpanjangan otomatis menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) hingga 2x10 tahun. Insentif lain adalah tidak adanya kewajiban pengurangan lahan konsesi dan insentif royalti hingga 0% bagi perusahaan yang membangun fasilitas hilirisasi batubara.

Baca Juga: Pengusaha: Penertiban kawasan dan tanah terlantar dapat mendorong lahan produktif

Kini, sejumlah perusahaan raksasa pertambangan batubara berbondong-bondong memanfaatkan insentif kemudahan bisnis dalam dua regulasi ini. Selain KPC, perusahaan raksasa yang akan habis masa kontraknya yakni  PT ADARO (ADRO), PT Multi Harapan Utama (MHU), PT Berau Coal (BC), PT Kideco Jaya Agung (KJA) dan PT Kendilo Coal Indonesia. Catatan JATAM Nasional menyebut luas lahan yang dikuasai oleh lima perusahaan ini mencapai 313.667 hektar atau setara dengan 5 kali luas DKI Jakarta.

UU ini disahkan secara terburu-buru dengan memanfaatkan kondisi krisis pandemi. Putusan MK terbaru tentang UU Cipta Kerja menyatakan regulasi ini tidak konstitusional karena tidak melibatkan masyarakat, tidak terbuka dan melanggar ketentuan penyusunan undang-undang.

Perpanjangan kontrak tidak hanya membahayakan keselamatan rakyat dan lingkungan hidup, tapi juga kontributor besar bagi pemanasan iklim global. Proyek gasifikasi batubara yang dikategorikan sebagai energi baru dan terbarukan dan saat ini dibangun KPC hanya menjadi legitimasi ketergantungan Indonesia pada energi fosil dan berbahaya.

Baca Juga: Arutmin sebut pembukaan lahan besar-besaran dapat menjadi penyebab banjir di Kalsel

“Desakan ini juga sekaligus tantangan pada Presiden Joko Widodo untuk membuktikan pidatonya di pertemuan perubahan Iklim COP 26 yang mengatakan akan menghentikan perluasan industri batubara di Indonesia. Apabila Presiden Jokowi serius berkomitmen, Ia seharusnya tidak memperpanjang masa kontrak perusahaan batubara KPC,” ujar Ki Bagus. 

Saat ini JATAM tengah menggugat KPC bersama lima perusahaan batubara serta pemerintah ke pengadilan informasi publik karena tidak transparan dalam evaluasi pengajuan perpanjangan izin dan kontrak kepada publik. Perpanjangan kontrak dilakukan secara diam-diam tanpa evaluasi terbuka pada publik sama dengan negara dengan sengaja memperpanjang kerusakan alam dan kehidupan rakyat.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×