kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45929,82   2,18   0.24%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

AKPI: Uji insolvensi tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia


Kamis, 18 November 2021 / 15:53 WIB
AKPI: Uji insolvensi tidak sesuai dengan sistem hukum Indonesia
ILUSTRASI. Palu persidangan.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

Apindo berpendapat, kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan. Sebab, pengajuan PKPU dan kepailitan dinilai tidak membantu menyehatkan usaha debitor. Tapi, justru untuk berujung kepada kepailitan.

"Padahal maksud dan tujuan dari PKPU ini untuk memberikan hak kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk dapat meminta penundaan kewajiban pembayaran utang dalam rangka menyehatkan perusahaannya," kata Hariyadi, belum lama ini. 

Namun begitu, menurut Jimmy, di beberapa negara yang menganut sistem hukum serupa dengan Indonesia, belum ada yang menerapkan tes insolven dalam kasus PKPU dan pailit. Contohnya Singapura dan Belanda. Bahkan, di negara maju yang sudah punya sistem laporan keuangan korporasi yang bagus, juga tidak menerapkan tes insolven. 

Jimmy bilang, sangat sulit bagi regulator di Indonesia untuk mengontrol jutaan korporasi (perseroan) yang tidak melaporkan keuangannya secara rutin setiap tahun kepada publik. Ini terutama perseroan yang status badan hukumnya bukan perusahaan terbuka.

Saat ini, sambung dia, prinsip yang bisa digunakan adalah presumption to be insolvent. Kreditor hanya bisa menduga bahwa debitor dalam kondisi insolven atau tidak. Jika debitor masih merasa mampu membayar utangnya, dia harus membuktikannya dengan mengajukan proposal perdamaian yang diterima kreditor.  Dengan begitu, proses PKPU bisa berakhir. 

Baca Juga: Apindo usul tes insolvensi jadi syarat PKPU, ini respons AKPI

Sebaliknya, jika pihak debitor memiliki aset yang besar, tapi tidak bisa menyajikan penawaran pembayaran utang yang baik kepada kreditor, maka debitor jadi insolven. Hal ini berarti, debitor dianggap tidak mampu membayar utang-utangnya kepada para kreditor. 

Pendapat senada diungkapkan Praktisi Hukum PKPU Ricardo Simanjuntak. Menurutnya, dari perspektif hukum, keadaan insolven terjadi ketika aset debitor lebih kecil dibandingkan kewajiban utangnya. 

Masalahnya, untuk mengetahui debitor insolven atau tidak, harus dilihat dari laporan keuangannya. Dan ini yang harus dibuktikan pihak kreditor di pengadilan ketika ingin memohonkan pailit. Pembuktian insolven ini akan membebani kreditor.  Sebab, untuk membuktikan insolven, kreditor harus punya laporan keuangan kreditor. 

Sayangnya, laporan keuangan tersebut sulit didapatkan kreditor dari pihak debitor. "Jadi penerapan uji insolven itu menjadi suatu yang tidak memungkinkan. Karena, berapa banyak laporan keuangan debitor yang harus dimiliki kreditor," kata Ricardo.

Ricardo berpendapat, jika tes insolven masuk dalam revisi UU Kepailitan, maka akan berdampak terhadap keberlangsungan dunia usaha. Salah satu dampaknya, kreditor yang memiliki piutang terhadap debitor dengan aset lebih besar dari utangnya akan sulit diperkarakan. "Pelaku usaha kecil yang memiliki piutang ke perusahaan besar akan sulit menagih utangnya," tambah Ricardo.

Baca Juga: Pebisnis Minta Jalan PKPU dan Kepailitan Disetop

Padahal, lanjut Ricardo, permohonan PKPU atau pailit yang diajukan kreditor bertujuan untuk melihat itikad baik dan kemampuan debitor dalam membayar utangnya. Dengan demikian, pihak kreditor dan debitor akan sama-sama diuntungkan. 

Jimmy menambahkan, layak atau tidaknya debitor dalam keadaan insolven tidak bisa ditetapkan oleh pengadilan. Sebab, alat ukur pengadilan sudah pasti menggunakan laporan keuangan atau daftar aktiva. Padahal, ya itu tadi, laporan keuangan bukan sebagai acuan debitor sudah pasti mampu membayar kewajiban utangnya. 

Jimmy setuju jika pengadilan menjadi sarana bagi debitor dan bukan kreditor. Dalam hal ini, pengadilan sebagai sarana bagi debitor untuk meminta agar diberikan kesempatan untuk menata kembali keuangan dan usahanya agar bisa membayar utang-utangnya. 

Menurut Jimmy, jika perusahaan yang sudah dipailitkan bukan berarti sudah game over atau berakhir. Dalam mekanisme PKPU, debitor yang diajukan PKPU bahkan pailit, tetap bisa menjalankan usahanya. "Hanya saja, dalam pengeluaran aset-asetnya, debitor tetap harus mendapat persetujuan dari pengurus PKPU," tandas Jimmy.

Selanjutnya: Ada wacana moratorium PKPU, pengamat ingatkan beberapa hal ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Strategi Penagihan Kredit / Piutang Macet secara Dini & Terintegrasi serta Aman dari Jerat Hukum

[X]
×