Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto
Soal pertanggungjawaban tindak pidana, Harun melihat wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus. “Karena wilayah UU Cipta Kerja adalah hukum pidana khusus, maka subyek hukum pidana itu berupa orang perorangan dan perkumpulan atau badan hukum, atau korporasi,” terangnya.
Lanjutnya, meskipun bunyi pasal-pasal tidak secara eksplisit mengatakan korporasi, namun korporasi tetap bisa dikenakan pertanggungjawaban atas suatu tindakan pidana.
“Khususnya terkait kluster ketenagakerjaan, walaupun diformulasikan dengan frasa ‘Barang siapa’, tapi itu tetap merujuk pada dua subjek hukum. Yaitu, orang per orangan atau manusia dan badan hukum atau korporasi dan perkumpulan,” katanya.
Untuk itu, dari lima teori atau doktrin pertanggung jawaban pidana korporasi, Harun menyebut dua teori yang sesuai dengan UU Cipta Kerja atau peraturan lain yang mengatur mekanisme pertanggungjawaban pidana oleh korporasi.
Baca Juga: Pengamat Ketenagakerjaan UGM: UU Cipta Kerja bisa antar Indonesia leading Asia
Yakni, teori identifikasi atau direct liability doctrine dan doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi (doctrine of aggregation).
“Teori identifikasi ini penitikberatannya pada bagaimana pertanggunjawaban pidana itu baru bisa dibebankan pada korporasi apabila perbuatan pidana tersebut dilakukan oleh orang yang diidentifikasi sebagai directing mind atau otak langsung yang menjalankan seluruh aktivitas korporasi,” jelasnya.
Dijelaskan Harun lebih jauh, orang yang sebagai directing mind ini lah yang dimintai pertanggungjawaban tindakan pidana. Selanjutnya, korporasi dapat dikenakan hukuman pidana atas perbuatan orang tersebut.
Adapun doktrin pertanggugjawaban pidana agregasi, lanjutnya, itu menitikberatkan pada kesalahan sejumlah orang secara kolektif, yang bertindak atas nama dan kepentingan suatu korporasi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News