Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk mengejar target swasembada gula, pemerintah tengah mempersiapkan Peraturan Presiden (Perpres) tentang percepatan swasembada gula konsumsi 2025 dan rafinasi 2030.
Namun, sejumlah pihak menilai beleid tersebut tidak lebih dari mendapatkan kuota impor gula tanpa ada keseriusan meningkatkan produksi gula dalam negeri.
Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori misalnya menilai aturan terkait gula dari hulu hingga hilir, dari Undang-Undang Cipta Kerja hingga Peraturan Menteri Perdagagan, Perindustrian hingga Pertanian semuanya punya aturan sendiri-sendiri terkait gula nasional, namun target swasembada gula tidak kunjung tercapai bertahun-tahun lamanya.
Selain itu, rencana Perpres Percepatan Swasembada yang akan dikeluarkan pemerintah dengan target swasembada gula konsumsi pada 2025 dan swasembada gula rafinasi 2030 terlalu mengada-ada.
Baca Juga: Percepat Swasembada Gula, Kementan Dukung Penyediaan Benih untuk Petani Tebu
Pasalnya tidak ada langkah teknis dan tahapan per tahapan untuk mencapai target tersebut, sementara yang paling ditekankan dalam Perpres tersebut hanya impor gula.
Ia mengambil contoh target swasembada gula rafinasi? langkah-langkahnya apa? di Perpres itu hanya ngomongin PTPN ditugaskan nambah area perkebunan, bentuk anak usaha yang bisa patungan dengan investor.
Menurutnya, kondisinya 11 pabrik gula rafinasi di Indonesia itu semuanya milik swasta, tidak ada yang BUMN, di Perpres itu tidak ada melibatkan mereka (swasta).
"Lalu mau nambah produksi gula rafinasi, dari mana lahan kebunnya, karena 11 pabrik gula rafinasi itu adanya didekat pelabuhan, panen gulanya di pelabuhan yang artinya sejak awal di bangun, pabrik-pabrik ini memang untuk panen gula impor,” ujarnya dalam keterangannya, Jumat (21/10).
Baca Juga: Ancaman Krisis Pangan Menghantui, Pemerintah Janjikan Peningkatan Produksi
Menurut Khudori, permasalahan utama gula nasional adalah lahan yang terbatas dan bahkan saling berebut dengan tanaman pokok lainnya seperti padi (beras), jagung dan kedelai.
Dirinya pun pesimis dengan Pembentukan PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) atau SugarCo dapat mencapai target swasembada. Khudori menjelaskan, SugarCo hanyalah sekedar konsolidasi perusahaan gula BUMN yang mana sebagian besar pabrik gulanya tua dengan teknologi yang ketinggalan zaman serta tidak efisien.
Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Takyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun menilai pembentukan SugarCo akan menimbulkan masalah baru terutama bagi para petani.
“Kami tidak tahu tujuan sebenarnya pembentukan SugarCo ini buat apa, toh para petani juga tidak diajak bicara, tidak melibatkan petani. Sementara mereka mengklaim punya lahan perkbunan 158.000 hektare , lahan di mana itu? wong lahan HGU perkebunan tebu semua PTPN itu hanya sekitar 58.000 hektare, sisanya 100.000 itu punya petani, kok diklaim sebagai miliknya. Kalau sudah diawal pakai data salah dan mengklaim lahan petani punya mereka sementara petani tidak diajak bicara, ini bisa menimbulkan masalah baru,” ujar Soemitro.
Apalagi kata Soemitro, PTPN III sebagai induk holding perkebunan tebu/gula diminta untuk menambah lahan perkebunan tebu sebanyak 700.000 hektare agar produktivitas gula nasional meningkat.
Baca Juga: Percepat Swasembada, Kementerian BUMN Mulai Revitalisasi Industri Gula Nasional
“Di mana cari lahannya? di Papua ada tapi ada pabrik gula di sana? tidak ada, di Kalimantan? ngak bisa lahannya gambut tebu sulit di tanam di sana. Dan boro-boro nambah lahan 700 ribu, nambah 50.000 saja susah,” ungkapnya.
Soemitro mengungkapkan, para petani heran dengan target swasembada gula konsumsi 2025 dan swasembada 2030 pasalnya pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan berakhir 2024.
Soemitro menduga Perpres ini justru lebih fokus membicarakan kuota impor gula, dan biasanya jelang pemilu impor gula melonjak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News