kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

7 Asosiasi UMKM tolak empat rencana kebijakan dalam RUU KUP


Selasa, 31 Agustus 2021 / 17:43 WIB
7 Asosiasi UMKM tolak empat rencana kebijakan dalam RUU KUP
ILUSTRASI. 7 Asosiasi UMKM tolak empat rencana kebijakan dalam RUU KUP


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Tujuh asosiasi pengusaha yang menaungi ribuan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memprotes empat ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang dirasa bakal menjadi beban UMKM ke depan. 

Adapun tujuh asosiasi UMKM yang menyatakan keberatan tersebut terdiri dari Jaringan Usahawan Independen Indonesia (Jusindo), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Usaha Mikro Kecil (UMK), Himpunan Pengusaha Mikro dan Kecil Indonesia (Hipmikindo), Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), UMKIndonesia, Assosiation of the Indonesia Tourism and Travel Agencies (Asita), dan Komunitas UMKM Naik Kelas. 

Usulan ketujuh asosiasi/komunitas tersebut antara lain, pertama dalam RUU KUP pemerintah berencana untuk menerapkan pajak penghasilan (PPh) minimum sebesar 1% dari peredaran bruto. Mereka mengusulkan ketentuan ini tidak diberlakukan bagi Usaha Mikro dan Kecil (UMK). 

Menurutnya, sebaiknya pemerintah tetap berpedoman pada  substansi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 dengan perubahan tidak diberlakukan batas waktu bagi usaha mikro dan kecil misalnya 3 tahun sampai 7 tahun. 

Baca Juga: Pelaku UMKM keberatan adanya klausul penghapusan pasal 31E dalam RUU KUP

“Artinya selama statusnya masih usaha mikro dan kecil makan substansi yang terdapat pada PP 23/2018 tetap berlaku yang tidak dibatasi oleh waktu tertentu,” kata Ketuan Jusindo Sutrisno Iwantoni saat Konferensi Pers, Selasa (31/8). 

Kedua, para UMKM meminta bahwa UMK tetap dikenakan tarif PPh final sebesar 0,5% dari penjualan/omset bruto tahunan atau dengan alternatif pilihan dikenai PPh sesuai Pasal 31 E Undang-Undang (UU) tentang Pajak Penghasilan (PPh). Dus, Sutrisno dan asosiasi/komunitas lainnya sangat keberatan apabila Pasal 31 E UU PPH  akan dihapuskan dalam RUU KUP yang saat ini sedang dibahas pemerintah bersama parlemen. 

Ketiga, bahwa pemerintah harus mempertegas usaha mikro dan kecil yang dimaksudkan dalam RUU KUP adalah  sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu  erupa perorangan maupun badan usaha antara lain CV, Firma, Usaha Dagang, Perseroan Terbatas dan sejenisnya.

Sutrisno mengatakan mereka tetap meminta bahwa selama mereka berstatus usaha mikro dan kecil mereka tetap mengikuti peraturan yang berlaku, tidak dibatasi oleh waktu seperti saat ini yang hanya diberikan kelonggaran selama antara 3 tahun sampai 7 tahun. 

“Sebab, Pada kenyataannya pembuatan laporan pajak itu harus terlebih dahulu dilakukan dengan membuat laporan keuangan harian. Usaha mikro dan kecil tidak mampu membayar gaji bagi tenaga yang memiliki skill di bidang keuangan,” ujar dia. 

Baca Juga: Pokok-pokok penting RUU KUP yang harus menjadi perhatian pelaku usaha dan masyarakat

Keempat, Sutrisno bilang ketujuh asosiasi tidak setuju jika penyidik pajak diberi kewenangan penangkapan sebagaimana dalam RUU KUP. Hal ini sangat kontra produktif terhadap upaya untuk mengembangkan kegiatan usaha. 

Menurutnya, semangat UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja adalah mendorong penciptaan lapangan kerja, tetapi malah terancam oleh ketentuan pidana sehingga hal ini menjadikan UKM terdemotivasi. 

“Kita justru memerlukan iklim usaha yang sehat yaitu menciptakan kenyamanan berusaha bukan dengan menciptakan ketakutan,” kata dia. 

Di sisi lain, tujuh asosiasi/komunitas tersebut mengusulkan ambang batas penjualan omset bruto tahunan dinaikkan dari Rp 4,8 miliar per tahun menjadi Rp 15 miliar. Tujuannya selaras dengan kriteria UU Cipta Kerja yang saat awal disusun memberikan iming-iming pemerintah mendorong UMKM. 

Ia menjelaskan, usulan tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan bahwa angka Rp 4,8 miliar udah berlangsung hampir 10 tahun. Sehingga diperlukan penyesuaian akibat inflasi dan perkembangan ekonom. 

Baca Juga: Pengamat sarankan pengenaan AMT hanya pada WP pemanfaatan sumber daya alam

“Di samping itu kriteria usaha mikro dan kecil sesuai dengan Undang-Undang Cipta Kerja sebagaimana diperjelas dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 Tahun 2021,” kata dia.

Ketua Hipmikindo Syahnan Phalipi menambahkan, selain adanya usulan tersebut, Kementerian Keuangan dan DPR juga perlu memperhatikan bahwa lebih dari 50% UMKM mengalami masalah restructuring bertumpuk, sejalan dengan berlangsungnya Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang berjalan hampir 2 bulan.

“Kalau mereka bertambah jumlahnya kondisi mereka lagi sulit untuk recovery kemudian kita terus melakukan perubahan UU yang memberatkan dan tidak memberikan iklim yang baik ke pengusaha bangkit cepat,” kata Syahnan dalam acara tersebut.

Selanjutnya: Pengamat sarankan pengenaan AMT hanya pada WP pemanfaatan sumber daya alam

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×