kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pelaku UMKM keberatan adanya klausul penghapusan pasal 31E dalam RUU KUP


Selasa, 31 Agustus 2021 / 16:13 WIB
Pelaku UMKM keberatan adanya klausul penghapusan pasal 31E dalam RUU KUP
ILUSTRASI. Pelaku UMKM keberatan adanya klausul penghapusan pasal 31E dalam RUU KUP


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan mengajukan kepada parlemen untuk menghapus Pasal 31 E Undan-Undang (UU) tentang Pajak Penghasilan (PPh).

Ketua UKM Indonesia, Dewi Melsari Haryanti, mengatakan, dihapuskannya klausul tersebut otomatis akan mencabut diskon 50% tarif PPh Final UMKM yang saat ini berlaku sebesar 0,5%, sehingga kelak menjadi 1%. Jelas rencana tersebut sangat memberatkan bagi UMKM yang kini masih berusaha bangkit karena terdampak virus corona. 

Dewi juga menyampaikan apabila Pasal 31E UU PPh dihapuskan kemudian tarif PPh dijadikan 1 tarif tentunya akan membuat beban pengusaha terkait. Meskipun, tahun depan tarif PPh Badan turun dari 22% menjadi 20%. Catatan Dewi, selain menggunakan tarif PPh Final UMKM 0,5%, banyak pula UMKM yang dikenakan fasilitas pajak tertentu dengan tarif 12,5%.

Ia memberikan contoh, misalnya dalam satu tahun omzet sebuah UMKM mencapai Rp 1 miliar dengan profit margin 10%, maka labanya sekitar Rp 100 juta. Dari laba Rp 100 juta kalau menggunakan mekanisme tari PPh tertentu 12,5% maka pajak yang dibayarkan Rp 12,5 juta. 

Baca Juga: Alasan UMKM keberatan dikenakan PPh minimum 1% untuk wajib pajak yang merugi

Setali tiga uang, apabila fasilitas tersebut ditiadakan, UMKM terkait akan menanggung beban hampir dua kali lipat dengan tarif 20% menjadi Rp 20 juta. Artinya, pajak yang dibayarkan lebih tinggi Rp 7,5 juta dari ketentuan saat ini. 

Padahal menurutnya, dengan selisih Rp 7,5 juta tersebut, sangat dibutuhkan oleh pelaku UMKM untuk mampu bertahan di tengah pandemi. Budget tersebut bisa digunakan untuk menunjang strategi pemasaran digital mengingat tren konsumsi saat ini banyak beralih ke layanan digital. Atau dana tersebut bisa pula digunakan untuk memberikan bonus kepada karyawan. 

“Kalau boleh terus terang umumnya kami belum menggaji diri kami sendiri sebagai pemilik usaha yang mengurus usaha. Karena kalau di awal itu  memang tujuannya dapatin dari profit itu ada yang diambil untuk gaji pemilik usaha,” ujar Dewi saat Konferensi Pers, Selasa (31/8). 

Setali tiga uang, Dewi khawatir bila kebijakan tersebut diterapkan pada tahun depan atau tahun setelahnya, justru bisa berakibat pada pemutusan hubungan kerja. Sebab, pelaku UMKM secara otomatis bakal berusaha menghemat cashflow karena kenaikan tarif pajak. 

Baca Juga: Pokok-pokok penting RUU KUP yang harus menjadi perhatian pelaku usaha dan masyarakat

Di sisi lain, Dewi berpesan seyogyanya sebelum mengubah ketentuan pajak UMKM, ada baiknya pemerintah berbenah diri dalam hal perizinan berusaha melalui Online Singgle Submission (OSS) yang saat ini dirasa belum benar-benar berfungsi dengan baik dan optimal melayani pelaku usaha. 

“Saya pikir dibalik dulu sebelum meningkatkan pajak coba dibuktikan dulu ada keseriusan untuk meningkatkan pelayanan publik ini bukan di OSS ini juga untuk di daerah. Jangan terlena menganggap dengan adan OSS sudah terjadi lompatan, iya benar ada lompatan tetapi RDTR di tingkat daerah perlu pembuktian,” ujar Dewi.

Dewi juga menambahkan, beberapa pengusaha yang tergabung dalam UKMINdonesia mengeluhkan otoritas pajak pusat dan daerah karena pelayanan yang lambat khususnya bagi usaha di bidang Horeka.

Selanjutnya: Tahun depan, stimulus bagi UMKM akan dilanjutkan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×