Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kepala Subdirektorat Tarif Cukai dan Harga Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Akbar Harfianto mengatakan, ada empat faktor yang menjadi dasar pemerintah menaikkan tarif cukai pada tahun 2022 mendatang.
Empat faktor tersebut adalah aspek pengendalian konsumsi rokok, optimalisasi penerimaan negara, keberlangsungan tenaga kerja di industri rokok, dan peredaran rokok ilegal.
“Keempat aspek tersebut menjadi salah satu penentuan dan mewarnai kebijakan yang dibuat. Kami juga selalu berpegangan dengan kebijakan tersebut juga sesuai dengan arahan Menteri Keuangan,” kata Akbar dalam diskusi virtual bersama AJI, Kamis (2/9).
Akbar juga menyebut, posisi pemerintah dalam pengendalian rokok adalah netral. Ia menyebutkan, sebetulnya, dalam kurun waktu 5 tahun pemerintah sudah menekan produksi rokok, sehingga akhirnya menurun. Hanya saja, pada tahun 2019 karena tidak ada kebijakan, produksi rokok mengalami peningkatan.
Baca Juga: Faisal Basri usulkan tarif cukai pada 2022 naik 12,5%
Ekonom Senior Universitas Indonesia Faisal Basri menilai, kebijakan cukai rokok yang berlaku saat ini tidak efektif menurunkan angka prevalensi perokok, utamanya anak remaja.
"Fakta bahwa masih banyak anak usia belia yang merokok, prevalensi perokok muda naik terus. Artinya, apapun yang Pak Akbar katakan itu tidak efektif untuk melindungi rakyat,” kata Faisal.
Faisal bilang, negara tidak boleh netral dalam melindungi generasi muda, sehingga tarif cukai rokok perlu dinaikkan tinggi terus-menerus agar prevalensi perokok pemula menurun. Dia juga menekankan, pemerintah harus fokus kepada pengendalian konsumsi rokok dan bukan mengoptimalisasi penerimaan negara dari hasil cukai tersebut.
Soal kekhawatiran pemerintah bila tarif cukai rokok naik tinggi akan meningkatkan produksi rokok ilegal, Faisal mengatakan, peredaran rokok illegal bisa dibrantas oleh aparat yang berwenang.
“Kalau alasannya ilegal, semua juga barang banyak yang ilegal. Kalau ilegal urusannya bukan Kementerian Keuangan, tapi urusan penegakan hukum. Itu kan melanggar hukum, berantas yang ilegal itu. Bukan dengan cara menyeimbangkan gitu,” tandasnya.
Selanjutnya: Faisal Basri sebut rokok jadi penyumbang terbesar kedua kemiskinan di Indonesia
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News