kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ditjen Pajak resmi pengadopsian CbCR


Senin, 23 Januari 2017 / 08:06 WIB
Ditjen Pajak resmi pengadopsian CbCR


Reporter: Ghina Ghaliya Quddus | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak akan menandatangani perjanjian laporan per negara (Country by Country Reporting/CbCR) Multilateral Competent Authority Agreement (MCAA) di Kantor Pusat Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) di Paris, Prancis pada tanggal 26 Januari 2017.

“(Menandatangani) Kerjasama dengan lembaga OECD pada tanggal 25 Januari 2017 di KBRI Paria. Dan tanggal 26 menandatangani CbCR MCAA di OECD Paris,” kata Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol kepada KONTAN, Sabtu (21/1).

Menurut John, informasi dalam CbCR dipergunakan terutama untuk menelusuri risiko atas manipulasi transfer pricing (TP). Oleh karena itu, Ditjen Pajak akan mewajibkan setiap perusahaan yang memiliki omzet tertentu, untuk menyiapkan beberapa dokumen seperti local file, master file, dan CbCR.

CbCR bisa diperoleh melalui skema pertukaran informasi antar otoritas pajak. Adapun pelaporan per negara CbCR dalam TP Doc, merupakan salah satu bagian dari rekomendasi Action 13 of the Basic Erotions and Profit Shifting (BEPS) Action Plan.

“Ini sangat menarik, Indonesia termasuk negara yang paling siap melakukan CbCR, langkah cepat dari pemerintah untuk mengakomodasi ketentuan komunitas internasional,” katanya.

Asal tahu saja, CbCR ini melibatkan penyediaan data dengan perusahaan multinasional yang di antaranya menggambarkan operasi mereka di setiap negara, yaitu nama dan lokasi dari setiap entitas, bersama dengan informasi agregat pada skala aktivitas, misalnya aset berwujud, omset, dan jumlah karyawan.

Nah, nantinya CbCR ini bisa jadi solusi agar pelaporan perusahaan lebih transparan, terutama tentang berapa pajak yang dibayar oleh perusahaan di tiap negara.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Humas Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Hestu Yoga Saksama menjelaskan bahwa CbCR ini nantinya bisa diminta sebagai bukti pemeriksaan mendampingi master document dan local document.

Jika sebuah perusahaan punya hubungan istimewa dengan luar negeri, maka mereka harus mempersiapkan CbCR agar DJP bisa menilai nilai kewajarannya.

“Ini supaya kita punya benchmark sehingga kita bisa mengakses transaksi yang mereka laporkan itu fair. Ini bisa jadi bukti juga ketika ada sengketa. OECD juga menerapkan itu,” kata Yoga.

Dokumen-dokumen yang dimaksud tersebut menurut Yoga termasuk laporan keuangan konsolidasi dari grup tersebut, “Bagaimana dia alokasikan biaya-biaya di berbagai negara. Selama ini sudah terjadi, tapi diangkat lagi ke PMK untuk memperjelas dan memperkuat,” katanya.

Pengamat pajak dari Center For Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan, selama ini kerugian negara atas transaksi afiliasi belum memiliki data yang pasti.

Pasalnya, problem Indonesia ketika ada sengketa kerap ada keterbatasan data pembanding.

Menurut Yustinus, tax avoiding internasional ini termasuk transfer pricing yang memiliki potensi pendapatan besar. “Jumlah perusahaannya bahkan ribuan,” katanya.

Menurut dia, selama ini peraturan Ditjen Pajak belum bisa menjaring atau menangkal tax avoiding, namun sekarang sudah lebih detail dan syaratnya cukup jelas. Oleh karena itu, langkah pemerintah memperketat manipulasi transfer pricing bisa mengerek potensi penerimaan pajak negara.

“Bisa belasan atau puluhan triliun. Saya rasa bisa Rp 20 triliun sampai Rp 25 triliun,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×