Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tarif impor yang digulirkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dinilai akan menekan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini.
Meski pemerintah masih menanti hasil negosiasi dengan AS yang ditargetkan rampung dalam 60 hari ke depan, tekanan terhadap perekonomian domestik diperkirakan tetap besar.
Ekonom Kepala Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai, kebijakan tarif Trump berpotensi mendisrupsi rantai pasok global (value chain).
Baca Juga: Penurunan Kelas Menengah, Ancaman Serius bagi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia
Dampaknya, permintaan global terhadap produk Indonesia bisa melemah, dan pada akhirnya membebani pertumbuhan ekonomi nasional.
“Tahun ini memang agak sulit untuk mencapai pertumbuhan 5%. Bahkan, saya sudah menurunkan proyeksi dari sebelumnya 4,97% menjadi 4,8%,” kata Fithra kepada Kontan, Minggu (20/4).
Fithra masih berharap proses negosiasi antara pemerintah RI dan AS bisa menghasilkan solusi yang seimbang.
Ia menilai, jika Indonesia bersedia meningkatkan impor dari AS hingga neraca dagang menjadi seimbang (zero deficit), maka seharusnya AS juga membalas dengan mengenakan tarif 0% terhadap produk Indonesia.
Baca Juga: ADB Prediksi Ekonomi RI Akan Terhambat, Imbas Menurunnya Jumlah Kelas Menengah
Namun demikian, Fithra juga melihat potensi tantangan non-tarif seperti pengetatan aturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan pembatasan kuota impor. Ia mengingatkan bahwa kebijakan kuota justru rentan menjadi celah korupsi.
“Kalau pun harus ada kebijakan dagang, lebih baik lewat tarif daripada kuota. Kuota impor sudah menjadi ajang ‘rent seeking’ karena yang paling diuntungkan adalah pemegang lisensi. Ini jadi sumber praktik nakal seperti korupsi,” jelasnya.
Selain tekanan eksternal, ekonomi domestik juga menghadapi tantangan dari sisi konsumsi rumah tangga.
Daya beli masyarakat dinilai masih lemah, tercermin dari penurunan indeks keyakinan konsumen selama tiga bulan berturut-turut.
Padahal, bulan Februari dan Maret biasanya menjadi periode puncak konsumsi karena bertepatan dengan Ramadan dan Idulfitri. Namun tahun ini, tren konsumsi justru melandai signifikan.
Baca Juga: Ekonomi Malaysia Diprediksi Tumbuh 4,4% di Kuartal I-2025, Ekspor ke AS Melonjak
“Ini menggambarkan masyarakat merasa kondisi ekonomi sedang tidak baik, sehingga menahan konsumsi untuk bertahan di bulan-bulan ke depan,” ujar Fithra.
Ia menilai, pemerintah perlu menghadirkan stimulus yang langsung menyasar disposable income masyarakat.
Salah satunya melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang disebut berpotensi meringankan beban 47,8 juta masyarakat kelas menengah.
Namun agar tepat sasaran, pelaksanaan program ini perlu didukung dengan inklusi keuangan yang lebih kuat.
Fithra mencontohkan model Grameen Bank di Bangladesh yang menyasar ibu-ibu produktif dari kalangan menengah bawah dengan pemberian pinjaman mikro.
Baca Juga: Sri Mulyani: Tarif AS Bisa Pangkas Pertumbuhan Ekonomi Indonesia hingga 0,5%
“Golongan ini juga sering kali tidak tersentuh bantuan sosial, padahal mereka sangat rentan,” katanya.
Tak hanya itu, penciptaan lapangan kerja formal juga menjadi kunci. Dengan meningkatnya daya beli, bisnis UMKM akan terdorong dan pada akhirnya menopang pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Selanjutnya: 15 Link Twibbon Hari Kartini 2025 Gratis dan Mudah Didownload
Menarik Dibaca: Promo Superindo Weekday 21-24 April 2025, Iga Sapi-Molto 1,6 Liter Harga Spesial
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News