kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.318.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Wamenkeu: Pajak Karbon Tujuannya Bukan untuk Penerimaan Negara


Senin, 26 Desember 2022 / 15:42 WIB
Wamenkeu: Pajak Karbon Tujuannya Bukan untuk Penerimaan Negara
ILUSTRASI. Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan, pajak karbon bukan merupakan instrumen fiskal atau alat untuk mendongkrak penerimaan negara.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah dua kali menunda penerapan pajak karbon (carbon tax). Terakhir penerapan pajak karbon yang sedianya berlaku pada Juli tahun 2022 kembali ditunda. Penundaan ini menjadi yang kedua kalinya pada tahun ini.

Awalnya, pajak karbon bakal diterapkan pada April 2022. Namun, kebijakan itu ditunda dan rencananya akan mulai berlaku pada Juli 2022. Namun, kemudian molor dan hingga kini belum jelas kapan pajak karbon akan diterapkan.

Meski begitu, Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara menegaskan, pajak karbon bukan merupakan instrumen fiskal atau alat untuk mendongkrak penerimaan negara. Pajak karbon sebagai bentuk komitmen pemerintah dalam menurunkan emisi gas rumah kaca atau untuk mencapai target ner zero emission di tahun 2060.

"Pajak karbon bukan tujuannya untuk penerimaan negara. Pajak karbon bukan supaya penerimaan negara baik. Pajak karbon adalah supaya Indonesia bisa memenuhi janji net zero emission," ujar Suahasil dalam acara Indonesia Economic Outlook 2023, dikutip, Senin (26/12).

Baca Juga: Aturan Turunan UU HPP Terbit, Ini Jenis-jenis Pajak Natura yang Dikecualikan dari PPh

Suahasil mengatakan, Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) memberikan ruang pemerintah untuk mengimplementasikan pajak karbon. Dirinya juga bilang, tidak semua negara memiliki pajak karbon sebagai alat untuk memitigasi perubahan iklim.

"Kita menunjukkan berbagai macam reform dari administrasi dan kebijakan pajak, termasuk kita mengintroduce pajak karbon yang belum kita aplikasikan, tapi disitu secara politik kita sudah diberi ruang untuk menetapkan," katanya.

Dalam penerapannya, ada dua skema implementasi pajak karbon. Pertama, melalui perdagangan karbon atau cap and trade. Institusi yang menghasilkan emisi lebih dari cap atau batas yang ditentukan, maka bisa membeli sertifikat izin emisi (SIE) dari institusi lain yang emisinya di bawah cap. Opsi lainnya, membeli sertifikat penurunan emisi (SPE).

Kedua, melalu pajak karbon atau cap and tax yang mengatur jika suatu institusi tidak bisa membeli SIE atau SPE secara penuh atas kelebihan emisi yang dihasilkan, maka berlaku skema cap and tax. Ini berarti sisa emisi yang melebihi cap tadi akan dikenakan pajak karbon.

Oleh karena itu, kata Suahasil, pelaku usaha dapat memilih mengkompensasi emisi yang dihasilkan dengan dua cara tersebut, yakni melalui pembelian kredit carbon atau membayar pajak karbon.

"Kalau mau mengkompensasi lewat pasar, monggo, kita siapkan pasar karbon. Enggak bisa mengkompensasi lewat pasar? Mengkompensasi lewat negara, monggo, bayar pajak karbon. Beda kan? Itu ada di dalam UU HPP bersama dengan item-item yang lain mengenai perpajakan kita," tandasnya.

Baca Juga: Sri Mulyani Waspadai Dampak Perlambatan Ekonomi 2023 ke Penerimaan Pajak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×