Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selain memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga telah melakukan review atas pelaksanaan transparansi fiskal, kesinambungan fiskal dan kemandirian fiskal pemerintah daerah (pemda) tahun 2020.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan, hasil review atas kemandirian fiskal pemda meliputi perhitungan indeks kemandirian fiskal (IKF) dan evaluasi kualitas desentralisasi fiskal. Hasil penilaian atas kemandirian fiskal dilakukan pada 503 pemda.
"Sebagian besar pemda atau 443 dari 503 pemda atau 88,07 % masuk ke dalam kategori belum mandiri. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar pemda masih sangat tergantung pada dana transfer daerah untuk membiayai belanja di masing-masing pemda," ujar Agung saat rapat paripurna DPR, Selasa (22/6).
BPK menyatakan, mayoritas pemda atau 468 pemda dari 503 pemda (93,04%) tidak mengalami perubahan status/kategori kemandirian fiskalnya sejak 2013 bahkan sampai adanya pandemi Covid-19 di Tahun 2020.
Baca Juga: Percepat penanganan Covid-19 di daerah, pemda boleh pakai DAU dan DBH untuk vaksinasi
Daerah bukan penerima dana keistimewaan/dana otonomi khusus memiliki proporsi status indeks kemandirian fiskal (IKF) lebih baik dibanding daerah penerima dana keistimewaan/dana otonomi khusus.
Hal ini menunjukkan bahwa ketergantungan daerah pada dana transfer dari pusat masih tinggi karena dana keistimewaan/dana otonomi khusus merupakan bagian dari dana transfer.
"Kesenjangan kemandirian fiskal antardaerah masih cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan daerah untuk membiayai kebutuhannya sendiri masih belum merata," ujar dia.
Baca Juga: Temuan BPK, penanganan Covid-19 tahun 2020 senilai Rp 9 triliun tidak memadai
Agung menjelaskan, hasil review atas kesinambungan fiskal menunjukkan bahwa pemerintah telah menyusun analisis keberlanjutan fiskal jangka panjang yang mempertimbangkan skenario kebijakan fiskal yang akan diambil dan indikator yang dimonitor. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu mendapat perhatian.
Pertama, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB dan penerimaan negara. Sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang.
Kedua, pengelolaan risiko fiskal pemerintah belum memperhitungkan beban fiskal terkait kewajiban program pensiun jangka panjang, kewajiban dari putusan hukum yang sudah incraht, kewajiban penjaminan sosial, kewajiban kontingensi dari BUMN, dan risiko Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) dalam pembangunan infrastruktur.
Ketiga, pandemi Covid-19 meningkatkan defisit, utang, dan silpa (sisa lebih pembiayaan anggaran) yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Meskipun rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72 tahun 2020 dan UU Keuangan Negara, tetapi trennya menunjukkan peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah.
"Disamping itu, mulai tahun 2023 besaran rasio defisit terhadap PDB dibatasi paling tinggi 3%," ujar dia.
Keempat, indikator kerentanan utang tahun 2020 melampaui batas yang direkomendasikan IMF dan/atau International Debt Relief (IDR). Yaitu rasio debt service terhadap penerimaan sebesar 46,77 % melampaui rekomendasi IMF sebesar 25 % - 35 %.
Kemudian, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan sebesar 19,06% melampaui rekomendasi IDR sebesar 4,6 - 6,8% dan rekomendasi IMF sebesar 7 % - 10 %. Serta rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% melampaui rekomendasi IDR sebesar 92 - 167% dan rekomendasi IMF sebesar 90 % - 150%.
"Indikator kesinambungan fiskal Tahun 2020 sebesar 4,27 % melampaui batas yang direkomendasikan The International Standards of Supreme Audit Institutions (ISSAI) 5411 – Debt Indicators yaitu di bawah 0 %," ujar Agung.
Selanjutnya: BPK ungkap 6 permasalahan program pemerintah yang belum optimal di tahun 2020
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News