Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
“Pemerintah juga tetap mempertimbangkan timing dan urgensi dari revisi peraturan ini. Saat ini dengan adanya pandemi, IHT sudah mendapat tekanan cukup berat. Ini yang harus jadi perhatian karena ini akan jadi basis penentuan kebijakan IHT,” terang Trikawan dalam paparannya.
Baca Juga: Anies Baswedan didesak cabut Sergub larangan iklan rokok di gerai ritel
IHT menurut Trikawan, selain berkontribusi terhadap ekspor juga memiliki kontribusi yang besar terhadap tenaga kerja.
Berdasarkan catatannya, untuk pekerja di petani tembakau mencapai 2 juta orang, petani cengkeh sebanyak 1,5 juta orang, sementara tenaga pabrik menembus 600.000 orang dan pedagang ritel sekitar 2 juta orang.
Itu artinya, kebijakan terhadap sektor ini memiliki dampak yang besar, alhasil pemerintah sangat berhati-hati mengambil keputusan sehingga revisi aturan ini belum mendapatkan persetujuan.
Plt Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Roberia menjelaskan, dalam pembentukan RPP terdapat lima tahapan yang harus dilalui.
Pertama, tahap perencanaan yakni program penyusunan PP dan Izin Prakarsa. Kedua, tahap penyusunan yakni Panitia Antar Kementerian dan harmonisasi. Ketiga, tahap penetapan. Keempat, tahap pengundangan. Kelima, tahap penyebarluasan.
Dalam hal revisi PP 109 sudah melewati batas waktu pengajuan Program Penyusunan maka revisi PP itu diajukan melalui Izin Prakarsa. Namun, untuk Izin Prakarsa sendiri syaratnya adalah melakukan permohonan usulan dan alasan kenapa aturan tersebut direvisi.
“Dinamikanya bisa kita lihat apakah ada urgensi dalam revisi PP 109. Harus ada harmonisasi karena bisa saja kementerian satu bilang ini harus direvisi, kementerian yang lain mengatakan sebaliknya. Maka rapat harmonisasi harus terjadi,” tegas Roberia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News