kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,52%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Wacana revisi PP 109 dinilai belum penuhi unsur partisipasi publik


Selasa, 26 Oktober 2021 / 10:31 WIB
Wacana revisi PP 109 dinilai belum penuhi unsur partisipasi publik
ILUSTRASI. Rokok.


Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rencana revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan terus menuai polemik.

Menurut akademisi Universitas Jenderal Achmad Yani (UNJANI), rencana revisi PP 109/2012 sebaiknya tidak dilanjutkan karena tidak memiliki urgensitas dan sarat akan adanya intervensi asing yang mengganggu kedaulatan negara.

Pakar Hukum Internasional sekaligus Rektor UNJANI Hikmahanto Juwana mengatakan, industri hasil tembakau banyak menopang lapangan kerja, kehidupan masyarakat dan juga perekonomian nasional.

Dia melihat ada pihak-pihak yang berupaya mengganggu kedaulatan negara berkaitan dengan Industri Hasil Tembakau (IHT) dengan mendorong revisi PP 109/2012.  Belakangan, ada  LSM luar negeri yang berupaya untuk mempengaruhi kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

Baca Juga: Pelaku usaha menilai Sergub DKI No 8 Tahun 2021 memberikan ketidakpastian usaha

"Pemerintah sendiri sangat teguh untuk tidak mau diatur oleh negara lain ataupun LSM asing tersebut. Tapi bukannya tidak mungkin bahwa LSM asing ini menggunakan kekuatan uangnya untuk mempengaruhi pemerintah dalam membuat kebijakan,” ungkap Hikmahanto dalam  keterangannya, Selasa (36/10).

Di Indonesia sendiri, kata Hikmahanto, khususnya berkenaan dengan IHT, dari aspek kesehatan sudah ada Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mana sudah ada aturan turunannya seperti PP 109/2012.

Pengaturan yang lebih rendah berupa Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) dan Peraturan Daerahnya juga sudah banyak.

“Kalau bicara soal kesehatan saya setuju untuk diselesaikan. Tapi ini ada LSM asing yaitu Bloomberg Philanthropies yang menyalurkan uang kepada LSM lokal untuk mendorong projek-projek yang ingin mematikan Industri Hasil Tembakau. Ini yang saya tidak setuju,” kata Hikmahanto.

Pengamat sekaligus Dosen dan Ahli Kebijakan Publik UNJANI, Riant Nugroho menilai, dalam konteks membuat kebijakan, pemerintah tidak bisa menyusun atas dasar kepentingan satu pihak saja.

Begitupun dalam hal revisi PP 109/2012, yang mana pemerintah tidak hanya untuk melindungi kesehatan, melainkan juga melindungi semua pihak khususnya petani tembakau dan Industri Hasil Tembakau.

Baca Juga: Seruan Anies soal reklame rokok dinilai mengabaikan pemulihan ekonomi

Dia memandang, pembuatan kebijakan yang unggul memiliki tiga ciri-ciri yakni  harus cerdas, bijaksana, dan memberikan harapan. Oleh karena itu, menurutnya, proses revisi PP itu sebaiknya berhenti dulu, kembali ke awal dan baru digagas apakah kebijakan yang ada ini ada sudah mencapai hasil yang dulu dikehendaki, atau kurang, atau justru melebihi.

Jadi, harus ada kajian kebijakan yang baik, baru kemudian disusun langkah selanjutnya. Pembuatan kebijakan pun, dalam demokrasi Pancasila yang dewasa, perlu melibatkan publik, yaitu mereka yang terdampak dengan kebijakan dan pakar kebijakan publik.

Selain itu, dalam pembuatan kebijakan pun, pemerintah tidak boleh mengikuti tren yang ada saat ini melainkan harus disusun berdasarkan kepentingan sosial, politik, ekonomi, infrastruktur dan keamanan nasional.

Oleh karena itu, untuk mencapai delta dalam suatu regulasi harus ada hasil evaluasi yang benar dan baik berdasarkan kepentingan tersebut.

Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan, Fiskal, Pengendalian Aset, Kedeputian Bidang Perekonomian Sekretariat Kabinet, Trikawan Jati Iswono mengatakan pemerintah sangat berhati-hati dan independen dalam menyusun sebuah peraturan.

Dalam hal rencana revisi PP 109/2021, pemerintah sejatinya tidak hanya fokus pada konteks kesehatan, melainkan dampak kepada IHT dan sektor terkait.

“Pemerintah juga tetap mempertimbangkan timing dan urgensi dari revisi peraturan ini. Saat ini dengan adanya pandemi, IHT sudah mendapat tekanan cukup berat. Ini yang harus jadi perhatian karena ini akan jadi basis penentuan kebijakan IHT,” terang Trikawan dalam paparannya.

Baca Juga: Anies Baswedan didesak cabut Sergub larangan iklan rokok di gerai ritel

IHT menurut Trikawan, selain berkontribusi terhadap ekspor juga memiliki kontribusi yang besar terhadap tenaga kerja.

Berdasarkan catatannya, untuk pekerja di petani tembakau mencapai 2 juta orang, petani cengkeh sebanyak 1,5 juta orang, sementara tenaga pabrik menembus 600.000 orang dan pedagang ritel sekitar 2 juta orang.

Itu artinya, kebijakan terhadap sektor ini memiliki dampak yang besar, alhasil pemerintah sangat berhati-hati mengambil keputusan sehingga revisi aturan ini belum mendapatkan persetujuan.

Plt Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Roberia menjelaskan, dalam pembentukan RPP terdapat lima tahapan yang harus dilalui.

Pertama, tahap perencanaan yakni program penyusunan PP dan Izin Prakarsa. Kedua, tahap penyusunan yakni Panitia Antar Kementerian dan harmonisasi. Ketiga, tahap penetapan. Keempat, tahap pengundangan. Kelima, tahap penyebarluasan.

Dalam hal revisi PP 109 sudah melewati batas waktu pengajuan Program Penyusunan maka revisi PP itu diajukan melalui Izin Prakarsa. Namun, untuk Izin Prakarsa sendiri syaratnya adalah melakukan permohonan usulan dan alasan kenapa aturan tersebut direvisi.

“Dinamikanya bisa kita lihat apakah ada urgensi dalam revisi PP 109. Harus ada harmonisasi karena bisa saja kementerian satu bilang ini harus direvisi, kementerian yang lain mengatakan sebaliknya. Maka rapat harmonisasi harus terjadi,” tegas Roberia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×