Reporter: Noverius Laoli | Editor: Amal Ihsan
JAKARTA. Indonesian Petroleum Association (IPA) menilai putusan pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor) atas dua orang kontraktor Chevron dalam kasus bioremediasi berdampak buruk bagi keberlanjutan investasi di Indonesia.
"IPA sangat prihatin terhadap dampak dan implikasi dari putusan hukum tersebut. Hal ini adalah preseden, yang akan mempengaruhi tidak hanya pada kelangsungan operasi Migas tetapi juga pada keberlanjutan investasi masa depan di Indonesia," ujar IPA Executive Director Diplana Tamzil, Jumat (10/5).
Diplana menguraikan, sektor hulu minyak dan gas bekerja atas dasar Kontrak Kerja Sama/Production Sharing Contract (PSC), sebuah kontrak yang berlandaskan atas UU Minyak dan Gas tahun 2001 sebagai kerangka hukum untuk melaksanakan operasi perminyakan sebagaimana didefinisikan dalam PSC tersebut, termasuk mekanisme hukum untuk menangani potensi sengketa.
Dia bilang, industri hulu Migas adalah sektor yang sangat ketat diatur melalui UU dan peraturan terkait. Setiap aktivitasnya didasarkan pada proses baku, tinjauan dan persetujuan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKKMIGAS) serta lembaga negara lainnya dan diaudit secara teratur oleh auditor pemerintah.
Karena itu, lanjut Diplana, IPA dan seluruh anggotanya berkomitmen untuk beroperasi dengan standar etika, integritas dan kepatuhan tertinggi dan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam PSC. IPA sangat mendukung penerapan tata kelola perusahaan yang baik, tidak hanya dalam sektor minyak dan gas, tetapi juga dalam industri yang lebih luas di Indonesia.
Sebelumnya, pengadilan Tipikor menyatakan dua orang dari kontraktor yang mengerjakan proyek bioreediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) tahun 2006-2011 terbukti bersalah. Mereka masing-masing dihukum lima dan enam tahun penjara.
Direktur PT Green Planet Indonesia Ricsky Prematuri divonis pidana lima tahun penjara dan denda Rp 200 juta. Sedangkan Direktur PT Sumigita Jaya Herland bin Ompo divonis lebih berat yakni enam tahun penjara dan denda Rp 250 juta. Hakim menyatakan kedua kontraktor tersebut harus mengembalikan pembayaran yang sudah diserahkan oleh Chevron. Green Planet harus mengembalikan duit sebesar US$ 3,08 juta. Sedangkan Sumigita Jaya harus mengembalikan US$ 6,9 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News